#27

390 35 0
                                    

"Sebentar ya, lo tunggu di sini."

Rangga pergi meninggalkan Ravela di ruang tamu Villa yang cukup luas. Ravela berdiri di dekat sebuah jendela yang terbuka, memperlihatkan pemandangan hamparan pepohonan yang begitu lebat. Bisa dibilang itu adalah hutan kecil yang ada di sekitar Villa tersebut.

Ravela memandang keluar jendela, menghirup udara segar sebanyak mungkin untuk memendam semua keresahan yang sedang menguasai hatinya. Sepertinya dia harus bercerita pada Lana mengenai hal ini. Entah kenapa, disaat seperti ini hanya nama Lana yang terlintas di otaknya. Ravela butuh seseorang untuk sekedar berbagi keresahan.

Mungkin, karena Ravela dan Lana sudah bersahabat sejak lama. Maka dari itu, apapun yang membuat Ravela resah atau senang, Ravela pasti akan menceritakan semuanya pada Lana. Kecuali, tentang Rangga.

Jari Ravela mulai menari di atas keyboard ponsel berlayar sentuh miliknya. Ketika sedang asik merangkai kata, seseorang berdiri di sebelahnya. Seseorang yang Ravela yakini adalah Rangga.

Tapi ternyata bukan. Orang itu bukan Rangga. Ketika Ravela menolehkan kepalanya, bukan wajah menyenangkan Rangga yang dia lihat. Melainkan wajah suram Rafael yang langsung menggetarkan hatinya karena rasa takut.

Padahal, Rafael hanya berdiri, tidak memandang Ravela sedikitpun. Jika manik mata Rafael tertuju pada Ravela, pasti air mata gadis itu akan terjun bebas membasahi pipi. Karena hanya lewat tatapan, Ravela bisa menilai seberapa dalam kebencian yang Rafael pendam untuknya.

"Kakak," lirih, Ravela tidak tahu harus berkata apalagi selain menyebutkan satu kata itu. Kakak? Sampai detik ini Ravela masih menganggap Rafael sebagai kakaknya. Kakak yang paling Ravela sayang, meskipun belum tentu Rafael juga menyayanginya.

"Kenapa sih, lo selalu ngikutin gue? Belum cukup lo bikin gue marah?" tanya Rafael dingin. Berbicara tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun.

"Kak, Maaf."

Rafael tidak peduli dengan nada gemetar yang terucap dari bibir adiknya. Yang Rafael pedulikan saat ini adalah pertanyaannya tentang harinya yang begitu sial. Kenapa di saat dia ingin bersenang-senang, dia malah bertemu dengan orang-orang yang membuat emosinya mudah meluap? Melihat Ravela dan Rangga di tempat yang sama adalah hal terburuk yang pernah Rafael alami selama hidupnya. Rafael tidak pernah mengharapkan hari seperti ini terjadi. Rafael selalu berharap untuk menjauh dari kedua orang itu, selama mungkin, atau jika bisa, Rafael ingin menjauh dari mereka untuk selamanya.

"Jangan pernah panggil gue, jangan lihat gue, jangan peduli sama gue! Anggap aja kita nggak saling kenal satu sama lain, ngerti?" setelah Ravela mengangguk kecil, Rafael pun pergi. Meninggalkan Ravela dengan air matanya yang siap terjun saat itu juga.

Ravela kuat. Tapi hatinya terlalu rapuh dan mudah terluka jika Rafael ada di dekatnya.

"Aduh, bentar ya, kayanya sepatu gue di pake Bisma, deh," Rangga datang sambil uring-uringan karena tidak berhasil menemukan sepatunya. Saat ini kakinya hanya beralas sendal jepit yang biasa dijual sepuluh ribuan.

Rangga masih celingak-celinguk mencari sosok Bisma. Saat di dalam kamar, Rangga melihat Bisma keluar menuju ke halaman depan. Tanpa Rangga sadari ternyata alas kaki Bisma sudah berganti dengan seaptunya. Entah salah pakai atau memang sengaja, yang jelas Rangga ingin sepatunya kembali sekarang juga!

"Bisma dimana sih.., eh? Ra, lo kenapa?" Rangga tertegun, pandangannya terkunci pada Ravela—yang pelupuk matanya sudah penuh oleh buliran bening.

Rangga memajukan langkahnya untuk lebih dekat lagi dengan Ravela. Saat itu juga buliran bening itu mengalir, menuruni pipinya. Dengan sigap, ibu jari Rangga menyeka buliran itu.

You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang