#42

286 35 2
                                    

Hari ini dunia sedang tidak berpihak pada Ravela. Buktinya, saat Ravela ingin pulang bersama sepedanya, ban sepeda Ravela malah bocor. Sejak tadi pagi sepeda itu memang sudah tidak enak saat dipakai. Tapi Ravela tetap saja menggunakannya untuk pergi ke kampus. Sehingga sekarang terpaksa Ravela harus berjalan kaki untuk bisa sampai di rumahnya.

Hati dan hari yang terlalu sempurna buruknya.

Setelah hampir satu jam Ravela berjalan di tengah teriknya sinar matahari, kini dia pun mulai memasuki komplek rumahnya. Kakinya melangkah menyusuri jalan perumahan itu. Selama dalam perjalanan, otaknya tidak berhenti mengingat kejadian tragis yang menimpanya hari ini. Ravela bahkan tidak yakin, apakah dia masih memiliki muka untuk masuk kuliah di hari esok?

Mengingatnya saja sudah membuat Ravela malu. Apalagi Ravela sudah memarahi Bisma dan Alesha habis-habisan. Kedua orang itu pasti tidak akan mau lagi berteman dengannya.

Belum lagi masalah Rangga. Ravela pasti akan merasa tersiksa karena Rangga akan bertingkah seolah-olah tidak mengenalnya. Ah, ralat, Rangga masih mengenalnya. Tapi bukan mengenal Ravela sebagai teman akrabnya, melainkan mengenal Ravela sebagai adik dari orang yang Rangga benci.

"Ah! Kenapa harus jadi kaya gini, sih!" Ravela menghentakkan kakinya. Meluapkan rasa kesal yang dari tadi dia pendam.

"Kalo udah begini, apa gunanya gue hidup! Ah sial, gue benci semuanya!" tiba-tiba saja air mata Ravela kembali terjatuh. Ravela berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tapi air matanya sudah terlanjur mengalir.

Ravela berhenti melangkah untuk menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ravela menyeka bagian wajahnya yang terasa lengket oleh air matanya sendiri. Setelah itu, Ravela berusaha mengukir senyum. Setidaknya Ravela harus terlihat biasa saja sampai dia tiba di rumah.

Ravela tidak mau orang-orang di komplek ini melihatnya bersedih. Apalagi hampir semua orang di komplek ini tahu tentang masalah keluarganya. Tentang tragedi mamanya, tentang Rafael dan Ravela, dan juga tentang Papanya yang menikah lagi. Sebenarnya perihal Papanya yang menikah lagi itu bukanlah sebuah masalah dalam keluarga Ravela. Itu hanya pemikiran dari para warga yang menganggapnya sebagai masalah.

Yah, bisa dibilang, saat ini Ravela berusaha untuk menjaga image keluarga. Karena jika ada yang melihatnya bersedih—apalagi menangis, orang-orang itu pasti akan menganggap Ravela tersiksa karena keluarganya.

Itulah manusia, mereka seringkali menyimpulkan sendiri sesuatu yang mereka lihat tanpa mengetahui kebenarannya.

"Kak Rara!"

Di pertigaan komplek, tepat di depan sebuah tiang dengan tulisan 'BLOK A7', Ravela menolehkan kepalanya. Matanya lurus mencari sumber suara yang berasal dari lapangan di pertigaan itu.

"Vano."

Di seberang sana, Vano tersenyum. Sebuah bola sepak yang sudah usang nampak terjepit di tangan kanannya.

"Kamu ngapain disana? Jangan main jauh-jauh, ayo pulang sama kakak," kata Ravela. Vano pun mengangguk patuh.

"Vano kan udah besar, Kak. Tadi Vano udah ijin sama Bunda," jawab Vano setengah berteriak.

Vano menoleh ke belakangnya. Memastikan keberadaan teman-teman sebayanya yang tadi ikut bermain bola. Sepi. Sepertinya lagi-lagi Vano menjadi orang terakhir yang meninggalkan lapangan.

"Yaudah, ayo pulang."

Vano mengangguk, lalu menyebrangi jalan. Jalanan perumahan yang selalu sepi dan nampak lenggang.

"Eh?"

Secara reflek Vano membungkukkan badannya saat bola di tangannya terlepas. "Eh, ih, jangan kabur dong, bola nakal!" Vano memarahi bolanya yang sulit ditangkap.

You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang