#53

215 22 0
                                    

"Rangga dimana?"

Seluruh tubuh orang-orang yang ada di ruangan itu menegang— kecuali Dokter Lasma dan dua perawat yang ada di belakangnya. Bisma menunduk, mengepalkan tangannya kuat. Lisan tak sanggup untuk berkata. Bahkan matanya pun beralih karena tak mampu menatap Ravela. Pertanyaan itu Ravela tujukan untuk semua orang yang berada di sana.

Rafael menatap Ravela nanar. Adiknya itu sibuk bersitatap dengan Alesha. Lewat tatapan matanya, Ravela tahu kalau Alesha berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terasa beku untuk sekedar berucap.

Di sisi lain, Joya justru menatap Rafael dalam. Di saat seperti ini, hanya Joya yang paling memahami bagaimana perasaan Rafael. Joya tahu segalanya tentang Rafael. Tentang rasa sayang Rafael pada adik dan keluarganya. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak pernah Joya ketahui dari sahabatnya itu. Joya tidak pernah tahu bagaimana perasaan Rafael kepadanya.

Papa Darma menggenggam erat tangan bunda Mila. Sepertinya, mereka tahu dari Rafael. Jika Ravela sampai tahu kebenarannya, dia pasti akan terpuruk.

"Bisa saya periksa sebentar?" tangan Dokter Lasma memaksa kepala Ravela untuk berhadapan dengannya.

Dokter Lasma menyorot mata Ravela dengan senter kecil di tangannya. Memerhatikan secara rinci bola mata yang telah berpindah tempat itu. Bola mata yang nampak cocok dengan sang pemilik baru.

Saat sedang diperiksa, ekor mata Ravela fokus pada Bisma yang kelihatan gelisah dari gerak gerik tubuhnya. Hal itu tentu saja membuat Ravela semakin resah. Pokoknya, hari ini juga, Ravela harus tahu tentang keadaan Rangga.

"Semuanya nampak bagus. Oh ya, kamu jangan terlalu takut ya, jika sesekali penglihatan kamu memudar atau buram. Itu hanya reaksi kecil dari penolakan mata kamu."

Ravela tertegun sejenak, "Te-terus gimana, Dok? Apa saya akan buta lagi?"

"Kamu jangan khawatir, saya akan memberikan obat-obatan untuk mencegah penolakan sampai mata dari pendonor itu bisa beradaptasi dengan baik di mata kamu," jawab Dokter Lasma membuat Ravela bernapas lega.

Akan tetapi, hal itu tidak bertahan lama. Setelah Dokter Lasma dan dua perawat keluar, ketegangan kembali menyelimuti ruangan itu.

Alesha sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menangis. Akan tetapi, matanya tidak sanggup menampung banyaknya air mata. Sehingga buliran bening itu mengalir deras membasahi pipinya.

"Le, lo kenapa nangis? Ada sesuatu yang ganggu pikiran lo?" tanya Ravela hati-hati. Sebagian kecil hatinya yakin kalau air mata itu pasti ada hubungannya dengan Rangga.

"Maafin gue, Vel. Maaf," suara Alesha gemetar. Permintaan maaf itu terlontar karena sejak kemarin Alesha hanya diam ketika Ravela berkali-kali bertanya tentang Rangga. Kali ini, Alesha sungguh tak tahan lagi.

"Maaf kenapa, Le?"

"Maaf kalo gue...," ucapan Alesha menggantung, gadis itu menunduk, menatap tangannya yang sudah berada di dalam genggaman Bisma.

Wajah Bisma menatap lurus ke depan. Matanya bersitatap pada Ravela yang menatapnya penuh selidik. Tapi Bisma tidak peduli, dia hanya tidak mau kalau mata baru Ravela menjadi rusak hanya karena tangisan yang sia-sia.

"Bisma!"

"Ya, gue Bisma. Hai, Vela, gue senang lo bisa lihat gue lagi," kata Bisma menyeringai sinis. Tangannya semakin kuat menggenggam tangan Alesha, memberikan sedikit kekuatan pada Alesha agar pertahanannya tetap kokoh.

"Dasar gila! Lo sengaja kan nahan Ale?" mata Ravela menyipit karena tiba-tiba saja matanya menjadi sedikit buram. Dokter Lasma benar, keadaan seperti ini benar-benar terjadi pada matanya.

You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang