#16

394 45 0
                                    

Bisma mendesah frustasi. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal berkali-kali. Wajahnya tertekuk memandang gadis yang berjalan beberapa langkah di depannya. Sejak tadi Bisma berusaha menyamai langkahnya dengan Alesha. Tetapi gadis itu dengan sengaja malah mempercepat langkahnya untuk menghindari Bisma.

Bisma tahu Alesha seperti itu bukan karenanya. Bukan karena masalah perasaan cinta di antara mereka—sungguh, itu sudah berlalu.

Alesha kesal karena Ravela. Dan Bisma tidak tahu alasan apa yang menyebabkan kekesalan Alesha. Sejak tadi Bisma sudah bertanya, tapi Alesha malah memakinya dan menganggap Bisma sok ikut campur.

"Aduh... Lele! Lo kesel sama Vela, tapi yang kena imbasnya gue," gerutu Bisma di belakang Alesha.

Alesha terus melangkahkan kakinya sampai mereka sampai di depan loby. Saat menyadari sesuatu, Alesha menghentikan langkahnya. Membuat Bisma tidak sengaja menabraknya.

"Lo tuh, ya! Kalo berhenti jangan tiba-tiba dong!" cerca Bisma kesal saat Alesha sudah berbalik arah berhadapan dengannya.

Alesha menatap Bisma cukup lama. Tatapan datar itu membuat Bisma jadi salah tingkah.

"Ngapain lo ngeliatin gue kaya gitu?" tanya Bisma sewot. Sedetik kemudian Alesha nyengir, dan memperlihatkan sederet gigi putihnya.

"Gue nebeng sama lo, ya?" kata Alesha dengan wajah tanpa dosa miliknya.

Bisma mendengus kesal. Dalam hatinya mengutuk Alesha habis-habisan. Kalau gadis itu ada maunya, dia pasti langsung bersikap manis.

***

"Rangga lepasin! Lo mau bawa gue kemana, sih?" tanya Ravela. Ingin berhenti melangkah, tapi dia tak bisa karena tangannya yang ditarik paksa oleh Rangga. Mau tidak mau dia harus mengikuti langkah laki-laki itu. Saat ini mereka telah memasuki kawasan parkiran mobil.

"Udah lo ikut aja. Gue yakin cara ini bisa bikin trauma lo sembuh," jawab Rangga penuh keyakinan.

"Cara? Cara apa?"

Rangga berhenti melangkah. Ravela pun ikut berhenti. Mereka berhenti tepat di depan sebuah mobil berwarna hitam—milik Rangga.

"Cepetan masuk," Rangga menyuruh Ravela untuk masuk ke dalam mobilnya.

Ravela mengernyitkan dahi. Kemudian menggeleng cepat, "Gue nggak mau!" tegasnya.

"Gue bilang masuk, ya masuk. Lo mau trauma terus kaya gini?"

"Gue lebih baik kaya gini selamanya, daripada gue mati konyol!"

"Lo nggak akan mati!"

"Gue akan mati kalo gue nurut sama lo!"

Keduanya saling bersitatap satu sama lain. Tatapan mereka menikam tajam. Sama-sama terlihat nyolot, seakan-akan mereka berdua siap untuk bertarung kapan saja. Karena gemas, Rangga akhirnya menarik paksa Ravela dan mendorong gadis itu untuk masuk ke kursi penumpang di samping kemudi.

Ravela memberontak. Saat pintu mobil sudah tertutup, Ravela kembali membukanya. Tapi Rangga dengan cepat segera menutup pintu itu dari luar. Kejadian itu—buka tutup pintu mobil—terjadi selama berulang kali. Bukan hanya Ravela yang kesal, Rangga pun juga ikut kesal. Rangga takut setelah ini mobilnya akan berakhir di bengkel karena kerusakan pada pintunya.

Akhirnya Rangga memutuskan untuk mengunci pintu mobilnya dari luar. Membuat Ravela menjadi semakin bringas menggedor-gedor pintu mobil dan mendorongnya agar terbuka. Akan tetapi, tetap saja hasilnya nihil. Ravela melirik Rangga yang masuk dan menempati kursi kemudi. Sorot mata Ravela tidak setajam sebelumnya, mata itu nampak memohon pada laki-laki berkulit putih yang kini sudah siap untuk mengemudi.

You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang