BAB 2

357 20 0
                                    

Kututup laptopku dengan sebuah tarikan nafas lega. Akhirnya... selesai juga kuliah hari ini. Kurapikan semua peralatanku dan bersiap menuju parkiran. Pak Mamat, supirku, pasti sudah menunggu diluar. Kasian dia harus menunggu terlalu lama. Seharusnya diusianya yang sudah tidak muda lagi, dia bisa menikmati masa tuanya dengan istri dan anak cucunya. Bukanya mengantar kemana aku pergi. Aku sudah bilang ke Mama, bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Mama tinggal memberiku kepercayaan untuk membawa mobilku sendiri dan aku tidak akan merepotkan orang lain lagi. Tapi, Mama bilang ini hanya sedikit bentuk bantuan yang Mama berikan kepada Pak Mamat, mengingat dia sudah lama ikut dengan Mama, dan ia butuh uang untuk menghidupi keluarganya. Anak-anaknya masih membutuhkan biaya untuk meneruskan kuliah mereka. Kalau sudah begitu, aku tidak bisa menolaknya.

Aku berjalan menuju parkiran yang tidak terlalu ramai sore ini. Jam–jam begini memang tidak banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah selain beberapa mahasiswa yang seluruh hidupnya mereka habiskan untuk belajar dan belajar. Seperti halnya aku, sepanjang usia dewasaku, aku selalu menghabiskan waktuku hanya dengan belajar dan belajar, atau pergi ke toko buku dan mencari beberapa buku, lalu membawanya pulang kemudian mengurung diri di kamar sambil melahap buku-buku itu dalam beberapa jam. Aku menyukai membaca sejak hidupku berubah menjadi begitu sepi karena Mama semakin sibuk dengan kariernya semenjak perpisahannya dengan Papa. Hidupku benar-benar sepi. Setiap hari hanya Bibi yang menemaniku di rumah dan itu sering membuatku merasa sedih. Tapi aku tidak suka larut dalam kesedihanku, karena itulah aku mencari sesuatu yang bisa membuatku melupakan segalanya. Seperti sebuah pengalihan. Berjalan di toko buku dan menghabiskan waktu dengan membaca beberapa buku disana menjadi pilihanku waktu itu. Dari situlah aku mulai mengumpulkan buku-buku dan menjadikannya duniaku.

Mataku memandang jauh keparkiran mencari sosok Pak Mamat. Biasanya jam segini Pak Mamat sudah ada diparkiran. Kulihat jam tanganku. Sudah jam lima sore. Ini tidak seperti biasanya.

"Raina." Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Kubalikkan badanku dan saat itu juga mataku langsung membesar melihat sosok laki-laki menyebalkan  yang beberapa waktu lalu datang kerumahku dan memukul gendang perang. Dia tersenyum padaku. Kumiringkan kepalaku dan menatapnya heran. Aneh. Apa yang dia lakukan disini? Trus ngapain pake senyum-senyum segala?

Sejak kejadian di rumah waktu itu, aku tidak pernah bertemu dengannya. Awalnya sih aku masih gemas ketika mengingat tingkahnya pagi itu. Dan setelah dia pulang aku langsung memarahi Mama. Membrondongnya dengan segudang pertanyaan.

"Mama ngapain sih pake nyeritain Rain di depan tamu Mama?" protesku waktu itu. Mama yang tidak merasa berdosa, kaget melihat aku yang masuk ruang kerjanya dengan marah-marah.

"Datang-datang bukannya permisi malah marah-marah." Tegur Mama tidak kalah kerasnya.

"Maaf." Bisikku pelan  Wajah ditekuk dan bibir manyun, itulah ekspresiku waktu itu.

"Kenapa datang-datang marah-marah gak jelas?" ulang Mama. Tapi kali ini dengan nada lebih lembut.

"Rain kesel sama Mama!" rengekku. Kuhempaskan pantatku ke sofa coklat yang berada di ruang kerja Mama. Untung empuk, coba kalau enggak..bisa patah nih tulang.  

Alis Mama melengkung mendengar rengekanku,"kesel kenapa?"

"Mama ngapain pake cerita-cerita soal Rain di depan tamu Mama?!"

"Mama gak cerita apa-apa." Jawab Mama polos.

"Itu tadi apa?? Pake bilang Rain punya taring segala. Rain kan malu. Ntar dipikirnya Rain yang beneran galak." Sungutku. Mama tertawa pelan.

"Emang Rain gak galak?" goda Mama sambil tersenyum kecil padaku.

"Iyaaa...tapikan gak usah bilang-bilang juga, Mamaaaa!!" protesku lagi.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang