BAB 29

200 14 0
                                    

Kami berhenti disebuah rumah yang lumayan besar dengan model minimalis. Dimas mematikan mesin mobilnya dan merubah posisi duduknya menghadapku, tingkahnya agak sedikit gugup. Sejak berangkat tadi, Dimas memang terlihat gugup sepanjang perjalanan, seperti ada yang ingin dia katakan namun dia belum mempunyai cukup keberanian untuk itu.

"Ini rumah siapa, Di?" tanyaku.

Dimas tidak langsung menjawab pertanyaanku tapi hanya menatapku sambil mengeryitkan keningnya.

"Hei, ini rumah siapa? Malah bengong." Tanyaku lagi. Sikapnya aneh dan membuatku semakin penasaran.

"Hmm...sebetulnya aku ingin mengatakannya dari kemarin, Rain. Tapi, aku takut kau menolaknya. Jadi, aku memutuskan untuk membawamu dulu kesini dan membiarkanmu melihat langsung." Sekarang gantian keningku yang berkerut karena mencoba mencerna ucapannya. Apa sih ini? Aku tidak suka main tebak-tebakan.

"Apaan,sih? Gak usah muter-muter, ah. Bikin penasaran aja." Omelku.

Dimas tersenyum kecil," aku hanya ingin dihari pernikahan kita nanti, semua orang merasa bahagia. Lagipula aku membutuhkannya untuk menikahimu." Keningku semakin berkerut dan sekarang ditambah lagi dengan jantungku yang berdetak kencang. Tiba-tiba Dimas turun dan berjalan menuju pintuku.

"Ayo. Kau akan tau nanti di dalam." Ajaknya. Aku ragu-ragu menyambut uluran tangannya.

"Ayo...." ajaknya lagi.

"Jangan aneh-aneh!" ancamku. Dimas menarik tanganku sambil tersenyum lembut.

"Tenanglah...." Akhirnya aku menurut dan mengikuti langkah Dimas. Dia menekan tombol bel yang berada di ujung tembok. Tak lama kemudian keluar seorang bapak-bapak tua dan tersenyum kepada kami.

"Siang, Den. Mau ketemu siapa?" tanya laki-laki tua itu.

"Siang, Pak. Bapaknya ada?" sahut Dimas.

"Ada. Aden siapa, ya?"

"Bilang saja, saya Dimas." Aku melirik ke arah Dimas. Sepertinya Dimas memang sudah merencanakan semua ini.

"Siapa, sih?" tanyaku semakin penasaran. Tiba-tiba seorang anak laki-laki remaja keluar dari dalam rumah. Badannya tinggi, dan besar. Wajahnya terlihat tampan dan mirip seseorang. Mataku membesar ketika melihat anak itu tersenyum. Senyumnya mirip senyum.....papa.

Dengan refleks kutarik tangan Dimas dan berbalik ke arah mobil.

"Pulang. Aku tau kau membawaku kemana!" sentakku. Aku tidak suka usahanya untuk mempertemukan aku dengan Papa. Dimas menahan tanganku.

"Rain...Rain. Tunggu!"

"Enggak! Aku enggak mau ketemu anak itu dan laki-laki itu! Berani-beraninya kau!!!" desisku kesal.

"Rain, tenang dulu." Bujuk Dimas dengan lembut.

Anak laki-laki itu sudah berdiri di hadapan kami sambil tersenyum ramah. Senyum yang sama sekali tidak ada pengaruhnya padaku. Aku membenci anak itu.

"Hai, kak Dimas. Udah lama?" sapanya.

"Baru, Do." Jawab Dimas.

"Ini pasti kak Raina?!" sapanya sambil melihat ke arahku. Aku membuang muka tanpa mengacuhkan tangannya yang sudah terulur padaku. Anak itu sepertinya tau aku membencinya, jadi dia hanya tersenyum kecil sambil menarik kembali tangannya. Aldo, namanya aldo.

"Masuk.." ajaknya.

"Iya..." sahut Dimas sambil menarik tanganku. Aku menolak dan diam tak bergeming.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang