BAB 20

200 16 1
                                    

Malam itu adalah awal kehancuranku. Berhari–hari lamanya aku mengurung diri dan larut dalam kesedihanku. Sering kali aku melihat namanya di display handphone-ku, tapi tidak sekalipun aku mengangkatnya. Aku tidak punya gairah untuk melakukan apapun. Dan ketika dia datang ke rumahku, aku tidak ingin menemuinya. Percuma, semuanya sudah selesai. Bahkan ketika suaranya berada di balik pintu kamarku, aku tetap tidak bergeming. Untuk apa dia datang? Untuk merubah semua keputusannya karena kasihan atau iba kepadaku? Aku tidak butuh rasa belas kasihannya.

Aku benar-benar berantakan dan hancur. Tidak ada satu makananpun yang mampu kutelan, hanya segelas susu setiap paginya yang diantar Bibi ke kamar. Ketika Mama datang ke kamarku dan mencoba membujukku, aku hanya diam dan menangis. Mama memelukku dengan erat sambil membelai rambutk.

"Jangan seperti ini, Raina. Mama sedih kalau lihat Raina begini." Suara Mama bergetar. Dalam hati aku merasa bersalah pada Mama karena aku berjanji tidak akan membuatnya bersedih tapi apa yang aku lakukan, aku hanya membuatnya menangis dan aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku hanya diam. Diam dan selalu diam.

Ketika suatu sore Dimas datang ke rumahku, aku hanya mengintipnya dari balik jendela dan melihat dia sedang bicara dengan Mama. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan tapi Mama menepuk-nepuk bahunya pelan, seperti sedang mencoba untuk menenangkannya. Airmataku kembali menetes melihat sosok itu. Oh....Tuhan. Aku merindukan dia. Demi Tuhan....aku merindukannya. Aku ingin memeluknya dan mencium bibirnya, matanya, hidungnya, semuanya. Dan aku ingin dia menciumku, mengelus rambutku, punggungku, seperti yang sering dia lakukan dulu ketika aku bersedih. Aku menangis kencang, rasanya ingin berteriak dan tanpa kusadari tanganku sudah membuang semua barang-barang yang ada di meja belajarku dan membuatnya bertebaran dilantai.

Mama masuk dengan berlari memelukku,"rainaaaa....jangan begini sayang. Mama mohon" aku meringkuk di dalam pelukan Mama sambil menangis. Hanya menangis.

Berminggu-minggu sudah aku membiarkan diriku terpuruk. Semua cara dilakukan Mama untuk membuatku kembali seperti dulu, tapi gagal. Mama membawaku ke sebuah villa di daerah pegunungan dan mengajak Dea bersamaku. Tapi sia-sia. Kehadiran Dea sama sekali tidak merubah apapun, bahkan ketika dia memelukku sambil menangis aku tetap tidak bergeming.

Akhirnya aku menyerah pada diriku sendiri. Aku terbaring dirumah sakit selama seminggu karena tubuhku yang tidak sanggup menahan semua kesedihanku tanpa sebutir nasipun yang masuk ke tubuhku. Aku benar-benar seperti mayat hidup. Dalam sekejap, tubuhku menjadi kurus dan kering. Sering sekali aku berniat mengakhiri hidupku tapi bayang-bayang Mama selalu menahanku untuk melakukan itu. Hanya aku yang dia punya, hanya aku yang dia miliki, apa yang akan terjadi padanya seandainya aku benar-benar mengakhiri hidupku.

Dimalam hari, aku sering berteriak kencang ketika dua kata itu kembali menghantuiku. Apa salahku???

Dan karena itu, dokter selalu menyuntikku dengan obat penenang bahkan dia menambah obatku yang sudah begitu banyak dengan satu resep lagi yaitu obat anti depresi.

Hingga suatu hari Dea datang menjengukku bersama Rei. Mereka tidak pernah berhenti menghiburku walaupun lagi-lagi usaha mereka tidak membuahkan hasil apapun. Aku tetap diam.

"Rain, berhentilah merusak hidup loe." Kata Dea sore itu.

Aku hanya duduk mematung dipinggir ranjang sambil melihat jendela.

"Loe jangan egois, Rain." Lanjutnya. Dan aku tetap diam.

"Loe gak kasihan sama nyokap loe?" kata-kata Dea seperti sebuah pukulan keras di kepalaku. Mama. Satu-satunya wanita yang tidak ingin aku sakiti hatinya.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang