BAB 22

185 20 2
                                    

Aku menelan air ludahku sendiri untuk mencoba menghilangkan rasa gugup yang menghampiriku. Bagaimana tidak, setelah hampir empat tahun lamanya aku tidak pernah bertemu dengannya, tiba-tiba malam ini dia berdiri dihadapanku sambil menatapku dengan tatapan matanya yang langsung menembus ke dalam jantungku. Membuatku semakin susah untuk bernafas.

Dia terlihat semakin tampan. Wajahnya tidak jauh berubah hanya terlihat semakin matang dan dewasa. Badannya juga masih sama seperti dulu selain otot-ototnya yang terlihat semakin membesar dibeberapa bagian. Oh...Tuhan. Darahku masih berdesir dengan hebat ketika membayangkan tubuh indahnya yang selalu membuatku tidak mampu untuk menolaknya setiap kali berada di dekatnya. Imajinasi nakal.

"Baik." Jawabku pelan. Aku butuh sesuatu untuk pegangan. Aku tidak yakin bisa bertahan lama berhadapan dengannya dalam kondisi begini.

"Maaf. Aku harus pergi." Aku harus keluar dari sini, tatapan matanya dan aroma wangi tubuhnya hanya membuat pikiranku semakin tidak menentu. Aku harus keluar dari sini.

Aku hendak berjalan melewatinya, tapi tangannya dengan cepat menyentuh lenganku, membuatku terkesiap saat itu juga. Spontan aku menarik nafas dan menahannya.

"Maaf. Tolong lepaskan tanganku." Aku bergumam pelan tanpa menoleh padanya.

"Aku hanya ingin bicara denganmu, Rain." Darahku semakin berdesir ketika dia menyebut namaku.

"Katakan. Tapi tolong lepaskan tanganku. Aku tidak ingin Rei melihatnya. Dia calon suamiku." Sekilas aku mendengar dia menghela nafas pendek dan melepaskan tanganku.

"Maafkan." Suaranya terdengar pelan. Aku berjalan menuju pinggir balkon. Kami hanya berjarak beberapa senti saja. Aku mencoba untuk bersikap tenang dan hanya melihat jauh ke depan.

"Selamat atas rencana pernikahanmu." Aku terdiam. Dia mendengarnya. Tentu dia mendengarnya. Bahkan mungkin dia melihat saja Rei menciumku di depan banyak orang.

"Terima kasih." jawabku singkat.

Kami saling diam. Bukan hanya aku yang bingung harus berkata apa, tapi aku yakin dia juga tidak jauh berbeda denganku.

"Kapan kau kembali?" tanyanya.

"Sebulan yang lalu mungkin. Aku tidak mengingatnya."

Kami kemudian kembali diam. Suasana ini benar-benar tidak membuatku nyaman. Tiba-tiba dia bergeser mendekatiku. Aku hanya meliriknya tanpa bergeming.

"Raina, aku senang bertemu denganmu disini. Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku katakan, tapi aku tidak pernah berhasil menemukanmu. Semua orang mengunci mulutnya untukku."

Aku tau dia mencariku. Mama sempat mengatakannya berulang kali waktu aku di melbourne dan Dea juga mengatakan hal yang sama padaku tapi aku hanya mendengarnya tanpa memberi respon apapun saat mereka mengatakannya padaku. Hanya aku yang tau isi hatiku. Aku sengaja memendamnya sendiri, karena aku tidak ingin melukai hati mereka lagi.

"Tentang apa?" tanyaku dingin.

"Tentang kita."

"Kita?? Maaf. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibahas. Kita hanya masa lalu." Rasa nyeri menusuk hatiku ketika mengatakannya. Kami memang masa lalu, masa lalu yang tidak pernah berhenti mengangguku dan menghambat masa depanku.

Dimas menarik nafas panjang.

"Kita memang masa lalu. Aku hanya ingin menebus kesalahanku padamu waktu itu. Aku tidak ingin seumur hidupku terus dihinggapi rasa bersalah."

Hatiku semakin berdenyut.

"Tidak perlu. Aku sudah melupakannya." Jawabku.

"Aku tau. Aku hanya ingin meluruskan semuanya." Dia tidak berubah. Masih suka memaksa, sama seperti dulu. Bedanya, saat ini dia berhadapan dengan sosok Rainata yang sudah terluka dan tidak memiliki hati. Rasanya akan sulit untuk meyakinkanku bahwa dia perlu meluruskan semuanya. Lagi pula untuk apa? Semua sudah terlambat.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang