(PRIVATE) BAB 23

256 24 3
                                    


Aku sudah berada di apartementku dan melempar tasku entah kemana. Aku tak perduli. Hari ini sangat melelahkan. Bukan hanya karena pekerjaanku yang menumpuk tapi juga karena pertemuanku dengan Dimas di kantor tadi dan kata-kata Rei yang berhasil membuatku semakin merasa bersalah.

Otakku benar-benar terasa penuh. Dan semua hanya kusimpan sendiri tanpa sedikitpun menceritanya kepada orang lain, tidak juga Mama dan Dea. Mereka sudah memiliki kehidupan sendiri, aku tidak boleh menganggunya dengan masalahku. Mama sudah bahagia dengan pasangan barunya, dan Dea...dia juga sedang menunggu kelahiran anak pertamanya, jadi mana mungkin aku tega menambah pikirannya. Aku harus bisa melewati ini sendiri. Harus.

TING TONG

Tiba-tiba suara bel apartementku berbunyi. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku sepertinya tidak sedang menunggu siapapun? Aku berjalan menuju pintu dan membukanya tanpa mengintip terlebih dahulu. Dasar bodoh.

Baru saja aku ingin bernafas lega karena sudah berhasil keluar dari sandiwara yang kubuat sendiri dan membayangkan diriku berendam di dalam bath tub sambil menenangkan diri, tiba-tiba jantungku kembali berdentak dua kali lebih kencang ketika melihat sosok Dimas berdiri dihadapanku. Darimana dia tau apartementku? Apa yang dia lakukan disini?

Dengan cepat kututup pintu apartment tapi dia menahannya dan meletakkan kakinya disela pintu, membuatku susah untuk mendorongnya. Bisa sih...tapi itu artinya aku akan melukainya atau lebih tepatnya beresiko melukainya, dan itu sama sekali tidak pernah terlintas dipikiranku.

"Apa yang kau lakukan disini?" bentakku sambil menahan pintu agar tidak terbuka lebar dan membiarkan dia masuk.

"Menemuimu." Jawabnya. Ya...tidak heran. Aku pernah mendengar jawaban itu darinya dulu.

"Aku tidak ingin bertemu denganmu. Pergi!!" sahutku ketus. Kudorong pintu sekuat tenaga.

"Jika kau tidak menyingkirkan kakimu, jangan salahkan kalau aku melukaimu!" bentakku lagi.

"Aku tidak keberatan. Asalkan kau mau mengijinkanku masuk dan bicara."

"Aku tidak mau!!!" sahutku kesal. Untuk apa? Tidak ada untungnya. Semua sudah lewat.

"Kalau begitu aku akan terus menahannya disini."

Aku mendengus kesal.

"Kau menyebalkan!!" desisku kesal.

"Yup. Itulah aku. Bukankah dari dulu kau tau aku menyebalkan?!" sahutnya sambil tersenyum nakal. Sial. Jangan tersenyum seperti itu padaku.

"Ya, aku tau. Dan itu alasannya aku tidak ingin bertemu denganmu sekarang. Pergi!!!" aku masih berusaha keras untuk mendorong pintu sekuat tenaga. Biarin aja kalau kejepit, toh, aku sudah memperingatkannya?!

"Kau masih keras kepala,Rain." gumamnya.

"Jangan sok tau menilaiku!! Aku bukan Raina yang dulu. Raina yang dulu sudah mati. Dan kau yang membunuhnya!!" Sial. Aku mengutuk diriku sendiri. Apa yang sudah ku katakan?! Aku seperti membuka hatiku sendiri padanya dan membiarkan dia tau bahwa kenangan empat tahun lalu masih membekas di hatiku. Seharusnya dia tidak perlu tentang itu. Bodoh. Kau benar-benar bodoh, Rain.

"Buka, Rain. Aku perlu bicara!" kali ini suaranya terdengar tegas dan menakutkan.

"Kalau tidak, jangan salahkan aku!" tiba-tiba dia mendorong pintu lebih keras dan membuatku harus menjauh jika tidak ingin terjatuh karenanya. Dengan cepat dia masuk dan menutup pintu itu kemudian menguncinya. Matanya tajam menatapku. Jantungku yang dari tadi sudah berdetak dengan sangat kencang, sekarang semakin kencang. Bahkan aku bisa mendengar suara detaknya. Dadaku naik turun dengan cepat.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang