BAB 17

220 18 3
                                    


Beberapa bulan sudah sejak malam itu, hubunganku dengan Dimas semakin dekat. Dimas menepati janjinya untuk tidak menuntut apapun padaku, begitupun aku. Kami hanya membiarkan semuanya berjalan mengalir seperti air. Dia selalu bersikap baik dan manis, bahkan dia sudah mengantikan pekerjaan Pak Mamat untuk mengantar dan menjemputku. Tentu saja aku menyukainya, lebih enak menikmati kemacetan bersama Dimas dan wajah tampannya daripada Pak Mamat. Ya, tentu saja....mana enak jalan dengan kakek-kakek. Aku tersenyum sendiri. Sesekali ketika pulang kuliah, kami sering mampir di sebuah kafe untuk makan malam sambil mendengarkan live music. Menghabiskan waktu dan bicara berjam-jam lamanya.

Walaupun hubungan kami semakin dekat, tapi Dimas selalu menghindar setiap kali aku bertanya kenapa dia membenci wanita dan seputar keluarganya. Dia hanya bilang, aku tidak suka mengingatnya. Dan jika aku mendesaknya, dia pasti langsung uring-uringan. Dia pernah beberapa kali mengajakku ke apartementnya. Disana, aku melihat banyak sekali foto-foto masa kecil Dimas, tapi semuanya hanya dengan ayahnya. Selalu dengan ayahnya. Tidak ada ibu atau saudara. Sebetulnya aku ingin tau lebih banyak lagi tentang keluarganya, tapi aku takut. Dia begitu tertutup soal itu. Dan kadang-kadang itu membuatku merasa sedih. Dia belum bisa mencintaiku. Sejauh ini, kebersamaan kami masih sebatas rasa nyaman baginya, tidak lebih. Karena kalau dia mencintaiku, dia tidak akan menutupi apapun tentang masa lalunya, tentang dirinya. Bagaimana mungkin kami bisa berjalan bersama kalau diantara kami masih penuh dengan rahasia.

Besok adalah ulang tahunku. Jauh-jauh hari aku sudah memikirkan untuk merayakannya bersama Dimas. Mungkin merayakan dengan hanya berdua di villanya. Mendengarkan musik sambil menikmati suasana romantis dipinggir kolam dan dikelilingi lilin-lilin. Dan kemudian membiarkan Dimas menarik tanganku untuk berdansa bersama. Hmm.....mimpi. Lama-lama aku jadi sedikit alay sepertinya. Padahal dulu, mana pernah aku punya pikiran seperti itu, boro-boro ulang tahun pake lilin segala, ulang tahun tiup lilin saja aku males. Aku selalu menghabiskan waktuku di kamar, tidak terkecuali ketika hari ulang tahunku. Paling, hanya Mama yang masuk kamarku ketika jam dua belas malam sambil memberiku kado, diikuti dengan deringan telepon dari Dea dan suara melengkingnya. Selain itu, semua berjalan biasa saja dan aku tidak terlalu memikirkannya.

Tapi lagi-lagi semua hanya hayalan. Sudah tiga hari aku tidak bertemu Dimas, karena dia harus mengurus proyeknya di bali. Seandainya status kami lebih jelas, mungkin aku akan merengek pada Mama untuk ikut dengannya kesana. Bukannya disini sambil merindukannya setiap detik. Menyedihkan. Kulihat jam ditanganku, sudah hampir jam dua belas malam. Hmm...sebetulnya dia inget gak ya ulang tahunku? Kok dari kemarin dia sama sekali tidak menyinggung soal itu. Aku gengsi kalau harus mengingatkanya apalagi secara resmi aku belum menjadi pacarnya. Ah...kau terlalu jual mahal sih, Rain. Padahal tidak ada salahnya kau menerima teori mencobanya, siapa tau dia benar-benar jatuh cinta padamu. Tidak...tidak. Kalau dia jatuh cinta? Kalau enggak? Aku tidak yakin apa yang akan terjadi padaku jika semua itu terjadi.

TENG TENG

Jam kuno di ruang bawah berdentang dua belas kali, itu artinya sekarang umurku sudah resmi bertambah satu, 22 tahun dan masih single. Aku menarik nafas panjang. Bodo amat dengan status jombloku, yang penting sekarang ada laki-laki tampan yang selalu ada disampingku, walaupun bukan pacar. Aku tertawa sinis, menertawakan diriku sendiri tepatnya.

Aku berjalan menuju balkon kamarku. Udaranya segar. Langitnya cerah. Tumben. Beberapa hari ini, jakarta selalu mendung. Aku sering menikmati hujan dari balik pintu kamarku. Duduk berlama-lama di depan pintu kaca balkon sambil memandangi hujan. Sebenarnya aku tidak terlalu suka hujan, apalagi kalau berbarengan dengan angin kencang dan petir yang mengelegar. Aku hanya bisa menikmatinya kalau hujan turun tanpa ditemani teman-temannya yang menakutkan itu. Ketika itu terjadi, sisi melankolisku seperti tersentuh dan itu mengingatkanku pada Dimas yang berdiri dibelakangku sambil melingkarkan tangannya di pinggangku dan membiarkan nafasnya menyapu leherku. Fiuhhh...ngayal.

I CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang