Beberapa kali Emma melihat arlojinya. Ia sudah terlambat untuk sampai rumah. Tadi disekolah, Ia ada tugas kelompok. Jadi Ia harus pulang lebih sore. Ia khawatir karena pada jam segini bus yang biasa Ia tumpangi sudah jarang ada yang lewat.
Sekarang Emma sedang menunggu Bus di halte depan sekolahnya. Langit yang biru, sudah mulai kekuningan. Menandakan sebentar lagi matahari akan terbenam.
Ia mengetuk-ngetukkan kaki kanannya yang terbalut sepatu. Rasa bosan sudah meliputi dirinya. Pasalnya Ia sudah menunggu sekitar setengah jam.
Pandangan Emma menoleh kearah kiri ketika Ia merasakan ada bau-bau asap. Pantas saja, di samping kirinya duduk seorang pria yang tengah menghisap rokoknya. Emma tidak kuat asap rokok. Itu membuatnya batuk-batuk dan juga sesak.
"Permisi, bisakah kau mematikan rokok itu?" Kata Emma dengan sesekali terbatuk-batuk. Namun sepertinya pria itu tidak peduli. Ia hanya mengedikkan bahu, lalu melanjutkan aktifitasnya menghisap tembakau yang dibakar itu.
Emma menutup hidungnya rapat-rapat. Dadanya sudah mulai sesak. Batuknya juga sudah menggila.
Namun siapa sangka. Saat Emma hendak berbicara pada pria itu lagi, tangannya ditarik menjauh.
"Kau sudah gila ya?" Tanya seseorang yang membawanya pergi dari tempat itu. Emma mendongak dan pada saat itulah matanya membulat dan batuknya berhenti.
"Mau kau bicara padanya seratus kali pun, orang seperti itu tidak akan mendengar" Ujar Tom.
Ya, yang menarik lengan Emma adalah Tom. Pria yang selama ini selalu Emma hindari. Tapi selalu Emma pikirkan sepanjang hari.
"Apa masalah mu?" Ucap Emma dengan tertunduk. Jantungnya berdetak cepat. Dulu, mungkin Ia akan senang bila didekat pria ini. Tapi sekarang, rasanya Ia ingin kabur saja.
Tom meletakkan kedua tangannya pada pinggang dan tertawa getir. "Kau kira aku lupa? Kau itu alergi asap. Kau tidak akan tahan terkena asap seperti itu!"
Emma menatap manik biru gelap Tom, "Lalu kau mau aku melakukan apa? Pergi dari tempat itu dan menginap disekolah karna tidak bisa pulang?"
"Aku yang akan mengantarmu" Tom menarik lengan Emma menuju parkiran sekolah untuk mengambil mobilnya.
"Berhenti" cegah Emma. Ia melepaskan kaitan tangan Tom pada tangannya.
"Kenapa?"
"Aku bisa pulang sendiri" Emma hendak menuju halte itu lagi, namun lagi-lagi Tom mencegahnya.
"Kau ini keras kepala sekali! Ayo, aku yang akan mengantarmu"
"Aku bilang tidak, ya tidak!"
"Aku tidak menerima penolakan!" Tom kembali menyeret Emma dan memaksanya untuk ikut dengannya.
Emma berhenti lalu menyentakkan tangannya dengan kuat. "Kalau tidak bisa bersama lagi, setidaknya jangan beri aku harapan, Thomas!!" Pekik Emma dengan tertunduk. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya, dan kapanpun bisa saja turun membasahi pipi.
Tom terdiam. Ia terpaku pada gadis didepannya yang sudah terisak.
"Emma?"
"Pergi!" Sentak Emma. Namun Tom langsung mendekap Emma dengan kuat. Gadis itu mencoba berontak, namun apa daya. Tubuhnya yang lebih kecil, tidak mungkin menandingi tenaga Tom. Akhirnya Emma pasrah. Ia merelakan dirinya dipeluk oleh Tom.
Tom mengelus kepala Emma. Lalu mencium puncak kepala gadis itu lumayan lama. Ternyata masih sama. Selalu menenangkan.
"Kau bisa membaca pikiran 'kan? Sekarang, baca pikiranku"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month In Muggle World [DRAMIONE]
Fanfic[COMPLETED] Setelah perang usai, Kementrian membuat peraturan baru. Dimana setiap sekolah sihir harus mengirim beberapa anak didiknya untuk belajar sementara di Sekolah Muggle. Begitupun dengan Hogwarts. Nah, bagaimana kelanjutan cerita mereka di du...