Chapter 7

12.2K 1.1K 24
                                    


Gray memimpin perjalanan bawah tanah itu. Tangan kirinya memegang senter, sedangkan tangan kanannya mencengkeram erat gagang pisau berburunya. Dalam lorong yang tidak terlalu besar, akan sangat tidak efektif apabila menggunakan pedang berukuran panjang untuk menghadapi lawan.

Mereka terus menyusuri lorong itu, kadang berjalan lurus, kadang berbelok tajam, dan sesekali menurun tajam atau menanjak. Dindingnya yang dari tanah tampak kuat sekaligus rapuh, seakan-akan bisa runtuh kapan saja.

Helena tampak kelelahan, keringat membasahi pakaiannya, napasnya pun mulai tersengal. Sedang Bu Yola dan Robert sepertinya tidak ada tanda-tanda kelelahan, mungkin ini disebabkan Helena hanyalah manusia biasa, berbeda dengan dua orang itu.

"Gray, kau tidak kelelahan?" tanya Helena. "Minum ini jika kau haus"

Gray mengambil botol minuman dari Helena, meminumnya beberapa teguk, lantas berjalan kembali. Sepertinya kondisi fisiknya masih cukup kuat untuk berjalan lebih jauh lagi.

"Kenapa ada tetesan air? Apa kita di bawah sungai?" gumam Robert heran.

"Kemungkinan besar begitu, karena jalur kita menuju arah sungai" jawab Helena menyeka keringat di dahinya.

Akhirnya, di ujung jalan sorot cahaya senter dari Gray mengenai sebuah pintu besi yang menutupi lorong itu.

Gray dibantu Robert terpaksa merusak pegangan pintunya, gara-garanya pintu itu tidak bisa dibuka.

Gray pelan-pelan membuka pintu itu, mengintip berhati-hati, waspada jika ada jebakan menanti mereka. Setelah memastikan tidak ada apa-apa, ia melangkah maju dulu.

Ruangan luas menyambut mereka berempat, cukup luas untuk ditempati puluhan orang, atap maupun dindingnya terbuat dari batu yang kokoh. Terdapat altar pemujaan di salah satu sudut ruangan, meja panjang dengan patung aneh dan lilin-lilin yang sudah hancur, sepertinya sudah ditinggal dalam waktu yang lama.

"Mereka ini memuja iblis apa sih? Jelek begini" kata Helena mengamati altar pemujaan itu.

"Itu patungnya sudah rusak, mana ada iblis yang mau disembah dengan patung rusak seperti itu," sahut Bu Yola sinis.

Gray membuka pintu lainnya, dan melihat ada lorong lain. Ia pun menyuruh teman-temannya untuk segera mengikuti dirinya.

Perjalanan yang mereka rasakan, lebih panjang daripada lorong pertama dan ini membuat mereka semakin kelelahan.

"Tak ada jebakan, tak ada sesuatu yang menyerang, ini aneh" batin Gray semakin waspada.

"Sudah dua jam lebih kita berjalan di lorong ini, dan tak ada tanda-tanda akan berakhir, berbalik pun percuma juga terlampau jauh" gerutu Bu Yola, ia memandang jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Kurang dari tiga jam lagi fajar pun menyingsing"

Tiba-tiba Robert berhenti mendadak, Helena yang berjalan tepat di belakang dirinya membentur punggungnya.

"Aduh, kenapa berhenti mendadak sih?" gerutu Helena berkacak pinggang.

"Oh maaf Helena... Cuma aku merasa kalau lorong ini menuju ke arah sekolah kita" kata Robert mengemukakan pikirannya. "Dan jika membandingkan dengan saat kita naik mobil dengan berjalan kaki, jarak antara sekolah dan rumah ini... Mungkin, sebentar lagi kita akan segera sampai tepat di bawah sekolah"

"Kau benar Robert" Gray berlari dan berhenti di ujung lorong, sebuah tangga besi yang sedikit berkarat menempel di temboknya. Ia naik cepat-cepat, agak kesulitan ketika membuka tutup lubang, tapi akhirnya ia pun berhasil dan berdiri di atas ruangan gelap.

Gray lantas berbalik, membantu teman-temannya yang naik bergantian.

"Ini gudang sekolah?"

"Sepertinya kelas tak terpakai..."

The Exorcist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang