Chapter 20

9.3K 834 52
                                    

Para exorcist memakai baju tempur mereka, baju besi ringan, pelindung tangan dan kaki, helm besi, bersenjata pedang, tombak, atau pun busur. Nagisa, dan Blaire mengenakan baju pelindung dari besi, hanya Gray yang mengenakan pakaian biasa. Baginya mengenakan baju pelindung hanya akan mengurangi kecepatan bertarung yang menjadi andalannya selama ini.

Semakin ke pusat kota, kabut semakin tebal, jarak pandang hanya lima meter saja, sehingga para exorcist hanya mengandalkan indera selain penglihatan dan insting semata. Cahaya lampu jalan maupun rumah-rumah penduduk tak banyak membantu.

Dikatakan kalau kabut ini berasal dari Neraka, jika konsentrasi hilang mereka akan terbawa halusinasi yang kuat, bisa melihat hal-hal di luar akal sehat dan dikuasai kegilaan.

Hanya Gray yang mampu sepenuhnya menolak kabut ini, mungkin ini disebabkan darah ayahnya mengalir deras di setiap nadi di tubuhnya. Beberapa kali dia masuk ke dalam rumah, dan menyelamatkan penduduk yang ketakutan untuk dibawa dan dikumpulkan ke tempat pengungsian jauh dari jangkauan kabut.

"Oke, dari sini kita berpisah, karena kita terbagi dengan exorcist yang menjaga pondok, mengantar penduduk ke tempat aman, hanya ada sekitar 20 puluh exorcist di sini dan entah berapa banyak iblis yang datang," kata Nagisa mengatur strategi ketika mereka semua berkumpul di sebuah rumah yang dirasa aman dan telah ditinggalkan pemiliknya entah kemana. "Bagi diri kita menjadi 6 kelompok, masing-masing 3 orang exorcist. Dua orang tersisa adalah aku dan Gray akan bergerak sendiri, ada yang ingin ditanyakan?"

Nagisa menunggu sejenak jika ada yang memprotes atau memberi saran, dalam waktu itu ia juga melihat wajah-wajah suram para exorcist, di antara 20 orang, hanya lima orang terlihat santai, termasuk Blaire, Gray, dan dirinya.

"Letnan, berapa orang yang harus kami selamatkan?" tanya seorang exorcist.

"Sebanyak mungkin, prioritas kita tetap anak-anak, wanita, dan lansia. Tapi, kalian boleh memutuskan sendiri tergantung situasi yang kalian hadapi," ujar Nagisa menjelaskan.

"Tapi, tinggalkan penduduk yang kerasukan, biarkan saja mereka, akan sangat membuang waktu jika kalian melakukan pengusiran, itu bisa kita lakukan nanti ketika suasana kondusif," timpal Gray, disambut anggukan mengerti para exorcist.

"Oke sebaiknya kita bergergas, hiduplah dan selamatkan orang-orang sebanyak mungkin," kata Blaire, setelah itu semuanya bergerak cepat ke berbagai arah.

"Semoga kau selamat" kata Nagisa rendah setengah mendoakan Gray.

"Kau juga" senyum Gray, mendadak ia merasakan sesuatu yang berbahaya, wajahnya terlihat serius. "Awas!"

Gray berteriak sembari melompat menerjang Nagisa, hampir bersamaan dengan hancurnya tembok rumah oleh tangan sebesar gedebog pisang.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Gray kepada Nagisa yang terbatuk-batuk karena debu.

"Aduh" erang Nagisa ketika tangan kirinya sedikit lecet. "Aku hanya merasa kaget ketika kau tiba-tiba menerjangku"

Gray tak menimpali kata-kata Nagisa, dia terlalu sibuk menatap sesuatu yang menyerang mereka berdua.

Nagisa mengikuti arah pandangan Gray, dia menemukan sesosok raksasa berotot setinggi 3 meter. Berambut abu-abu gelap panjang, matanya merah, giginya kuning. Dia menyeringai sambil memegang cerutu.

"Dia..."

"Goliath, sosok raksasa sombong yang pernah dikalahkan oleh Daud dulu," kata Gray menjelaskan kepada Nagisa. "Aku tak tahu dia bergabung dengan Bael!"

Nagisa berdiri dibantu oleh Gray, keduanya menghunus pedang bersamaan.

"Anak Azazel, kau akan mati hari ini!" geram Goliath menampakan sederetan gigi kuning besar-besar.

The Exorcist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang