Hari ini, Dilla sudah masuk kembali kesekolah, setelah merengek pada Drian, abangnya. Akhirnya, ia boleh turun sekolah.
"Seneng banget," goda Dhavi menyenggol Dilla disebelahnya. Mereka berdua sekarang sedang berjalan di koridor, menuju kekelas.
"Iyalah! Emangnya elo, pemales," cibir Dilla.
"Mana ada! Gue ini rajin, bos! Gue aja udah ngga pernah, bolos!"
"Ngga pernah, bolos? Gue berani iris kuping sebelah kalau di absen lo selama kelas satu dan dua, ngga ada Alpanya," ucap Dilla yang hanya dibalas cengiran oleh Dhavi.
"Pagi!" Sapa Dhavi ketika memasuki kelas yang sudah ramai.
"Pagi, ganteng!" Sapa Amanda, siswi yang memang sudah menyukai Dhavi sejak dulu, tapi ia tak berani mendekati Dhavi. Hanya sebatas ini saja, bahkan memfollow akun instagram Dhavi pun, baru satu bulan yang lalu.
Dhavi terkekeh, lalu menuju tempat duduknya. Dilla pun juga melakukan hal yang sama.
"Kok bau, ya?" Tanya Dilla mengendus.
"Lo belum mandi ya, Yang?" Tanyanya lagi.
"Enak aja! Gue mah udah mandi, emangnya elo," cibir Dhavi, "tapi, seriusan ini, bau, Yang."
Dilla melihat kekolong mejanya, dan ternyata terdapat bangkai tikus, dan ada secarik kertas disitu.
"SUDAH SEMBUH? TUNGGU HAL SELANJUTNYA YA, BITCH."
Dilla menatap siswa diseluruh kelasnya, "siapa yang naro bangkai tikus di kolong meja, gue?!" Serunya berteriak, menggebrak mejanya sendiri.
Seketika kelas hening, Reza dan Feros pun kaget.
"Siapa yang datang deluan, tadi pagi?" Tanya Dhavi tajam.
"Gue, kenapa?" Tanya Abay yang baru saja memasuki kelas.
"Lo, liat nggak, siapa yang buang bangkai tikus disini?" Tanya Dhavi, tapi ia tak mengencangkan suaranya.
"Nggak," jawab Abay tenang, berjalan mendekati Dilla, "anak-anak juga nggak ada cium bau, begitu lo berdua dateng, langsung heboh."
"Gue, nggak bakal heboh kalau aja bangkai tikus itu nggak dikolong meja, gue!" Bentak Dilla, lalu ia menunjukan secarik kertas ancaman itu, "dan juga, ini!"
"Halah! Bilang aja lo berdua yang naro itu! Lo berdua kan emang senang cari sensasi," sindir Abay.
Dhavi mengepalkan tangannya, ia memang hanya diam, ia tak mau berkelahi disini. Dilla baru sembuh, dan gadisnya itu butuh orang yang menjaganya. Kalau sampai Dhavi berkelahi disini, dan berakhir dirumah sakit, ia tak akan bisa menjaga Dilla.
Dhavi menarik tangan Dilla, "kita pergi," ucapnya tajam, matanya masih menatap Abay tajam.
"Mau kemana kamu, Dhavi?"
Dhavi mendengus kesal, ia terlambat untuk pergi kali ini. Ibu Nana, guru bohay tetapi galak ini, sudah sampai dikelasnya terlebih dahulu.
"Nggak kemana-mana," jawab Dhavi cepat.
Dilla hanya diam, ia mengikuti Dhavi yang menarik tangannya.
"Lo berdua, duduk ditempat gue sama Dilla," ucap Dhavi pada dua temannya, yang posisi duduknya bersebelahan dengan tempat duduk mereka.
"Nggak mau, Dhav. Disitu bau," jawabnya menolak.
Dhavi tersenyum smirk, "mau pulang dengan selamat, atau mampir dirumah sakit, dulu?" Ucapnya sambil menatap tajam kedua temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Favorite Prince
Teen FictionDhavi Drew Zega, kapten Team basket, pintar, dan berparas tampan, mempunyai teka-teki tentang sahabat di masalalunya, dan tentang perasaannya. Di pertemukan di koridor sekolah, dengan ketidak sengajaan di pertemukan lagi di kelas, dan duduk sebangku...