25{mine?}

10K 803 36
                                    

         Hari senin pagi, Shine School sudah ramai sejak pukul enam pagi. Biasa, untuk melakukan upacara rutin. Mereka semua hari ini menggunakan lapangan indoor untuk upacara, karena kepala sekolah hari ini akan berbicara panjang lebar mengenai peraturan-peraturan sekolah.

"Cabut, yuk?" Ajak Dhavi.

Ia sudah bosan dilapangan ini sejak jam enam pagi, tapi sekarang sudah jam tujuh pagi, dan upacara belum juga dimulai.

Reza, Feros dan Ady mengangguk, "yuk!" Seru mereka bersamaan.

"AW!"

"Cabut kemana lo, hah?!" Seru Dilla masih sambil menjewer kuping Dhavi.

"Aduh, kanjeng ratu keburu dateng," gumamnya.

"Balik lo ke barisan!" Ucapnya sambil menarik Dhavi kembali ke barisan.

Reza, Feros dan Ady bergidik ngeri, Dilla, sekarang, sudah mirip seperti ibu kos.

"Capek, yang," keluh Dhavi cemberut, "sudah satu jam gue berdiri disini, tapi, upacaranya belum mulai."

"Semua juga capek, tapi kaga ada pikiran kayak lo! Katanya mau berubah?"

Dhavi memang berkata pada Dilla bahwa, ia akan merubah sikapnya sedikit demi sedikit, dan Dilla meminta, mulai dari kehadiran. Dhavi tak boleh lagi bolos.

"Iyadah, kalah dah gue kalau sama, kanjeng ratu," cibirnya, yang malah mendapat jitakan lagi dari Dilla.

"Udah, diem! Ini udah mulai!"

"Gila, untung gue nggak naksir, Dilla, ya," ucap Feros bergidik ngeri. Ia tak bisa membayangkan kalau Dilla menjadi kekasihnya.

"Dhavi, memang kuat bener, dah, sama singa betina," lanjut Reza yang ternyata Dilla mendengar ucapan mereka berdua.

"Lo bilang apa, barusan?" Tanya Dilla menoleh kebelakang.

"Kagak, ampun kanjeng mami, ampun," ucap Reza nyengir.

"Kanjeng mami?" Tanya Dilla bingung.

"Dhavi manggil lo kanjeng ratu, kita kanjeng mami, hehe."

Pletak

"Coba bilang sekali lagi, apa tadi?"

"Nggak, ampun dah gue, ampun."

Dilla diam, lalu ia berbalik tak menghiraukan Reza dan Feros lagi.

Selama upacara dimulai, Dhavi sama sekali tak bisa diam, bahkan hanya diam untuk lima menit pun, tidak.

"Bosen," keluhnya.

Dilla hanya melotot, menatap Dhavi yang menggoyang-goyangkan kakinya, "gue pura-pura pinsan aja kali, ya?"

Dilla menginjak kaki Dhavi, "sampai lo lakuin itu, gue bikin jidat lo, memar," bisiknya.

Dhavi langsung diam, tetapi kakinya tetap tak diam, masih saja ia goyang-goyangkan.

"Terima kasih waktunya..."

"Akhirnya, tua bangka selesai juga," gumam Dhavi yang masih bisa didengar oleh, Dilla.

Dilla hanya menggeleng, ia tak mengerti lagi dengan Dhavi.

"Kekantin dulu, yuk!" Ucap Dhavi menggenggam tangan Dilla.

"Kita diliatin."

"Biarin, biar laki-laki buaya darat itu ngga berani lagi, deketin kanjeng ratunya, gue."

Tanpa sadar, wajah Dilla merona. Itu memang ucapan yang biasa Dhavi ucapkan pada Dilla, tapi entah kenapa, ucapan itu tetap membuat Dilla merona.

"Susu banana," pinta Dhavi pada Dilla.

The Favorite Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang