Jika senyuman bahagianya dapat kembali seperti dulu
Ijinkan aku tetap di sampingnya●●●
Beberapa orang di sekeliling koridor rumah sakit hampir saja ku tabrak, beginilah aku jika sedang dalam keadaan panik. Aku harus segera mencapai ruang ICU sesegera mungkin. Aku ingin segera melihat keadaan orang yang ku sayang yang kembali terbaring di rumah sakit Bunda Asih , rumah sakit yang sama seperti sebelum - belumnya."Hahhh ..Haahh.. Kak Via.." ucapku dengan nafas terengah - terengah setelah sampai di ruang ICU. Viana Aruna Sukmana - Saudara Perempuan Aifyka
"Via belum sadar Ai sejak Kak Alvin bawa ke rumah sakit ini. Kata dokter penyakitnya kambuh dan hari ini dia belum minum obatnya Ai.. Kamu nggak ingetin dia minum obat tadi?" tanya Alvin dengan melihat wajah pujaannya yang begitu pucat. Ia sungguh menyesal bahwa tadi hanya ingin menasehati bukan bermaksud memancing emosi pujaannya yang keras kepala itu.
"Hari ini aku ada kuliah pagi Kak, waktu aku mau berangkat Kak Via masih tidur , aku nggak tega buat bangunin Kak Via Kak, karna aku tau dia susah buat tidur. Tapi aku udah sempet pesen sama Bi Imah buat nyuruh sarapan dam minum obat kalau Kak Via udah bangun." Jelasku mengingat 5 jam yang lalu sebelum aku berangkat kuliah.
"Dia pasti menolak keras untuk minum obat jika bukan kamu yang minta Ai. Dan maaf Kak Alvin harus kembali ke kantor, ada meeting. Kabari Kak Alvin jika gadis keras kepala ini sudah sadar Ai." balas Alvin sebelum mengusap pelan puncak kepala Ify dan berlalu keluar dari kamar ICU itu.
"Kak Viana harus kuat demi aku dan Deva Kak!" ujarku pelan di telinga kanan Kak Via yang masih tidur dengan tenang, seakan tidak terganggu suaraku. Ia tetap diam.
●●●
"Ayah harap kamu dapat mengerti keputusan Ayah. Ayah hanya ingin kamu fokus. Kejar mimpi itu segera karna hanya kamu harapan yang Ayah punya." jelas lelaki paruh baya itu yang duduk di kursi kejayaannya menatap serius putranya.
"Tapi Ayah , Aku masih---"
"Tidak ada bantahan Rional Adi Mahaputra! Segera lakukan! Atau kamu akan liat dia dengan hal yang tidak kamu harapkan! Keluar dari ruangan Ayah sekarang!" perintah Ayah Rio menatap tajam sang putra yang akan membantah lagi.
"Rional pamit Ayah." balas Rio ketika berdiri dari kursi dan sempat membungkukkan badanya.
Setelah ia keluar dari ruangan yang membuat dirinya harus menahan atmosfer amarahnya dengan keinginan Ayahnya yang kali ini membuatnya seakan ingin murka pada sang Ayah tapi ia tak mampu karna hanya sang Ayah yang ia miliki sekarang setelah kekasihnya.
●●●
"Tumben kesini ? Lagi nggak sibuk?"tanya Acilla pada lelaki depannya yang terlihat seperti tak bersemangat. Di lihat dari pakaiannya saja sudah begitu berantakan.
"Dimana Ify Cil?" tanya Rio to the point pada Acilla. Ia begitu lelah dengan hari ini rasanya. Tapi dia harus tau dimana kekasihnya itu berada setelah tadi ia menolak pergi bersama kekasihnya dengan alasan bimbingan padahal harus menemui Ayahnya di kantor.
"Seharusnya kamu yang lebih tau Yo! Kamu kan pacarnya! Kalau mau tau kabarnya bisa telpon dia juga kan." jelas Acilla heran sekaligus kaget pada Rio yang terlihat serius mengenai sahabatnya.
"Aku nggak tau Cil, tadi aku sempat nolak dia buat di ajak nonton. Dia pasti ngambek sama aku Cil. Dan ngambeknya bisa seharian nggak peduliin aku."
"Terus kenapa di tolak sih? Sejak kamu daftar beasiswa S2 ke Inggris, dia jadi uring uringan nggak Yo! Kamu nggak pernah ada waktu buat dia. Tapi sebulan lebih ini dia coba pendam semua itu waktu sama kamu Yo! Dia ngggak ingin ganggu kamu." ujar kesal Acilla pada Rio.
"Aku nolak permintaan dia karna aku harus nemui Ayahku. Kalau aku nolak , semua pengawal Ayahku akan menyeretku hingga di hadapan Ayahku. Dan aku nggak ingin Ify terlibat di dalamnya." balas Rio pelan menunduk menatap sepatu hitam pantofel yang biasa ia gunakan jika bertemu sang Ayah.
"Om Adi nggak ngerestuin Ify jadi pacarmu Yo?" tanya Acilla hati hati setelah mendengar penuturan Rio atas segala penolakan Rio terhadap ajakn Ify.
"Sekarang malah lebih parah Cilla!"
●●●
Jari jari itu akhirnya bergerak pelan bersamaan dengan lenguhan nafasnya. Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang terlalu terang. Dia tersenyum tipis setelah sadar sepenuhnya dan menoleh kepalanya ke arah samping kanan, melihat gadis yang hampir sepantara dengan dirinya itu sedang tertidur pulas dengan bantalan kedua tangan gadis itu.
"Fyka.." Ucapnya pelan sambil mengusap pelan ke puncak kepala gadis itu.
"Engh.. Kak Via udah sadar?" Tanya Ify dengan berbinar ketika panggilan Fyka di serukan kepadanya saat masih tertidur. Hanya kedua saudaranya yang boleh memanggil dirinya dengan panggilan Fyka.
"Kamu sendirian? Mana Rio atau Acilla yang biasa nemenin kamu?" tanya Viana mengedarkan pandangannya pada sekeliling dan tak melihat siapapun kecuali Ify, adiknya.
"Ya, aku kesini sendirian. Mereka berdua sedang ada urusan. Aku tak mungkin mengganggu mereka." balas Ify dengan sedikit malas terutama tentang Rio.
"Aku panggilin dokter ya Kak biar bisa cek keadaan Kak Via." ucap Ify mengalihkan topik lalu mulai bangkit dari kursi tapi..
"Kak Via ingin Fyka di sini.." balas Viana pada Ify yang akan berlalu dari sampingnya. Dan berhasil , Ify kembali duduk menatap lembut dirinya.
"Mau peluk Kakak?"
"Kak Via...."balas Ify lalu langsung menerjang ke pelukan sang Kakak yang jarang bisa seperti ini. Ia menangis di pelukan Kak Viana. Sementara Via juga ikut larut dalam suasana hati adiknya. Dan Via sedikit kaget pada adiknya jika tangisan sang adik disertai dengan bahunya bergetar. Via hanya bisa mengusap bahu adiknya agar tenang.
"Jangan menangis Princess! Kak Via akan tetap di sampingmu , jangan khawatir dengan Kakak." ucap Via sambil menegakkan tubuh Ify dan menghapus air mata Ify yang masih menetes.
"Kamu mau berjanji sama Kakak , Fyka?"
●●●