[Rafa - POV]
Kejadian pelukan itu benar-benar membekas dalam ingatanku. Wajah berbinar Rayya sangat jelas terbayang dalam bayanganku.
Ada apa sebenarnya aku ini? Pertanyaanku malam itu tidak ia jawab membuatku kesal. Perasaan aneh itu terbenam dalam hatiku. Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku tidak suka jika Rayya dekat dengan lelaki lain.
Anggap saja aku egois, tapi itulah yang kurasakan. Aku tidak memiliki perasaan apapun pada Rayya tapi aku tidak mau melihatnya berdekatan dengan lelaki lain.
Apalagi sampai berpelukan. Hei, seharusnya Rayya sadar. Dia sudah memiliki suami, untuk apa pula dia berpelukan dengan lelaki lain, di depan mataku sendiri lagi.
Arrrrghhh.
Kekesalanku memuncak ketika tadi pagi, lelaki bernama Galih itu menelepon Rayya. Yang bisa ku tangkap dari ucapan Rayya bahwa mereka akan bertemu.
Ingin sekali aku melempar ponsel yang berada di tangannya. Dengan perasaan kesal aku pergi begitu saja. Bahkan ketika menahanku untuk meninta izin, dengan ketus aku membiarkan saja mau ngapain juga.
Dan keputusanku pagi itu, berdampak buruk pada pekerjaanku. Semua pekerjaan aku serahkan pada Azura. Bahkan untuk meeting siang nanti jika aku tidak bisa dia yang akan menggantikannya.
==::::==
Hal gila yang kulakukan selama tiga puluh tahun hidupku adalah mencurigai seseorang. Yang tak lain adalah istriku sendiri. Setelah pergolakan batin, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti kemana dan mau apa Rayya pergi bertemu Galih.
Sesampainya di salah satu restoran, aku langsung mengikuti Rayya tanpa sepengetahuannya. Sengaja aku duduk di meja sampingnya agar aku bisa mendengar apa saja yang akan dia bicarakan.
Tiba-tiba saja tangaku terkepal begitu Galih mengutarakan perasaannya bahwa dia menyukai istriku. Dari sini bisa kulihat keterkejutannya.
"Aku Cinta sama kamu Rayya, bahkan sejak kita kuliah. Aku jaga perasaan ini ketika aku memutuskan untuk pergi, aku berharap Allah memberiku kesempatan. Dan sekarang, setelah kita terpisah dan perasaan itu masih ada aku ingin kamu menjadi milikku dalam artian yang halal secara agama dan hukum. Aku ingin menikahimu."
Arrrghh, aku tidak tahan. Ingin sekali aku menghabisi mulutnya yang berani-berani berkata seperti itu pada Rayya. Memang tidak salah, tapi apa dia tidak tau jika Rayya sudah menikah, bahkan sudah menikah.
Baru saja aku ingin beranjak menghampiri meja mereka, sepasang kekasih sudah mendahuluiku. Aku kembali duduk sampai sepasang kekasih itu ingin pergi.
Aku tersenyum begitu Rayya sedang membereskan barang-barang. Tapi lagi-lagi Galih menahan Rayya yang hendak pergi. Dalam hati aku berdecak, mengumpat segala kekesalan untuk Galih.
"Aku serius sama kamu Ya. Aku mencintaimu sejak dulu sampai sekarang. Dan aku benar-benar ingin menikahimu."
Tanganku sudah terkepal, tak habis pikir bahwa dia begitu menginginkan Rayya.
"Kasih aku kesempatan, Rayya. Aku tau kamu tidak memiliki perasaan yang sama. Tapi bolehkah aku mendapat kesempatan?"
Sudah cukup, aku segera menghampiri meja itu dan berkata lantang penuh ketegasan. Rayya dan Galih terlihat kaget. Setelah berkata siapa diriku, aku segera menarik Rayya tanpa aba-aba.
Jalannya yang lambat tanpa sadar membuatku menariknya. Sesampainya di parkiran aku menyuruhnya masuk. Wajahnya terus menunduk membuatku berdecak.
Kulihat Rayya meringgis seperti kesakitan, aku tercengang, apa aku menariknya terlalu keras? Baru beberapa melangkah, tak sengaja ada yang menabraknya hingga terjatuh. Dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar suara ringgisannya.
Aku berjalan menghampirinya, "Makanya jalan itu lihat-lihat. Gimana sih bisa kayak gini?" ucapku datar.
"Cepetan berdiri, masa cuman kedorong gitu doang nggak bisa berdiri sih?" lanjutku karena Rayya masih berada dalam posisi yang sama.
"Sakit Rafa. Aku nggak bisa berdiri," ucapnya tertahan sambil memegang kaki kanannya yang sakit.
Tangannya pun bergetar ketika menyentuhnya, apa begitu sakit?
Bodoh! Ya iyalah sakit. Lihat Istrimu sampai menangis!
Baru saja aku akan bertindak, tiba-tiba tubuh Rayya sudah di gendong seseorang. Dan Galih yang menggendong istriku itu.
"Kamu gila? Istri kamu kesakitan seperti ini kamu cuman bisa diem sambil marahin dia? suami macam kamu ini?" ucap Galih tegas lalu meninggalkanku dengan wajah kesalnya.
Aku merutuki diriku sendiri. Galih benar, suami macam apa aku ini?
Ketika Galih sudah membawa Rayya masuk ke dalam mobil, ia kembali ke arahku. Mengulurkan tangannya untuk meminta kunci mobil.
"Untuk apa?" tanyaku bodoh.
"Kamu nggak lihat istri kamu kesakitan? Kita harus cepat membawanya ke rumah sakit sebelum terjadi sesuatu pada kakinya," ucapnya dengan nada tinggi.
"Apa maksudmu?"
Galih berdecak, tanpa sopan santun ia merempas kunci yang ku pegang lalu menaiki kursi pengemudi. Tanpa melalukan apa-apa lagi aku segera duduk di kursi depan. Membiarkan Galih menyetir mobil hingga rumah sakit.
==::::==
Dua jam kemudian, Rayya mengerjapkan matanya. Aku hanya bisa menatapnya merasa bersalah. Setelah Rayya mendapatkan perawatan, Galih memukulku. Ia seperti orang kesetanan karena Rayya tidak baik-baik saja.
Kata dokter, bekas kecelakaan di kakinya itu sedikit parah. Rayya belum bisa berjalan normal hingga beberapa hari kedepan. Soal kecelakaan, aku tidak tahu menahu.
Kata Galih, kemarin ketika Rayya pulang malam, siangnya dia mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat mobilnya rusak dan kakinya terjepit.
Sempat merasa menyesal karena tadi sudah menariknya paksa hingga luka itu semakin parah.
"Eeunngghhh...."
Aku tersadar segera ketika mendengar lirihannya. Mata yang tidak tertutupi kaca mata itu mengerjap pelan kemudian terbuka sempurna.
"Udah enakan?" tanyaku khawatir.
Rayya mengangguk, kemudian matanya menyipit memandang wajahku. Aku tebak Rayya akan bertanya mengenai wajahku yang lebam.
"Wajah kamu kenapa?" tanyanya lirih.
Aku menggeleng, "Nggak papa. Kamu butuh apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Sepertinya Rayya tidak ingin mengalihkan pembicaraan. Nyatanya tangan yang tidak ditusuk jarum infus terulur menyentuh lebam di wajahku.
"Ini kenapa?" tanyanya lirih. Wajah khawatirnya bisa kulihat membuat dadaku sesak begitu saja. Disaat aku tidak peduli dengan kondisinya dia malah peduli pada luka lebam yang tidak seberapa.
Dengan berani aku menyentuh tangannya yang lemas. "Tadi ada sedikit perkelahian sama Galih," kulihat matanya membulat kaget. "Tapi nggak terlalu serius kok," aku mencoba tersenyum.
"Kenapa bisa?"
"Dia cuman ngasih pelajaran sama aku yang nggak bisa jaga kamu. Maaf, aku belum bisa jadi suami yang baik," aku tertawa sumbang.
"Tentu saja, suami macam apa yang cuman bisa diam ngelihat istrinya yang sedang kesakitan. Maaf, sekali lagi aku minta maaf. Aku memang bukan lelaki yang baik. Nggak hanya nyakitin hati kamu, aku juga nyakitin fisik kamu. Maaf..."
===♪♪♪===
Tbc:)
Cimahi, 13 November 2016
- Hana -
KAMU SEDANG MEMBACA
At The Time - [ Love Series 2 ]
RomanceAkan ada waktu dimana aku benar-benar lelah dan menyerah untuk kamu. Dan jika waktu itu telah tiba, jangan sesali apa yang sudah terjadi. Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kapan dan dimanapun aku berada. - Zaretta Rayya Fazhiya - Akan ada wa...