[Rafa - POV]
Kurasakan hawa dingin menyelimuti tubuhku. Aku mengerang tertahan kemudian menggerakan tubuhku mencari selimut. Tapi aku merasa ada yang mengganjal.
Seperti ada beban yang tertidur di dadaku. Ketika mataku terbuka sempurna, aku melihat Rayya tertidur sempurna di atas tubuhku. Aku terperanjat kaget begitu punggung polos Rayya berada di hadapanku.
Apa yang terjadi?
Aku mencoba mengingat kejadian semalam. Seingatku aku pergi ke sebuah cafe dan minum. Entah berapa lama aku minum hingga aku melihat Azura dan membawaku pulang.
Aku pun melihat sosok Raina. Tapi setelah itu aku tidak ingat lagi. Sekarang aku bingung, apa yang telah kulakukan hingga keadaan kami seperti ini?
Apa--apa aku melakukannya?
"Ya... Rayya," aku menepuk lengannya pelan hingga ia mengerjapkan mata kemudian menjauh dari dadaku. Tak sengaja aku melihat sesuatu di sekitar leher dan bahunya. Dengan cepat, Ia menutup sebagian tubuh atasnya yang terbuka.
"Apa yang terjadi?" tanyaku padanya.
Rayya diam saja sambil menunduk. Aku kembali bertanya hingga ku dengar Rayya mulai terisak. Kedekati tubuhnya, ku cengkram kedua lengannya yang terbalut selimut.
"Apa aku melakukannya?" tanyaku menaikan nada suaraku.
Rayya tetap menunduk membuatku mencengkram lengannya lebih erat. Dari sela tangisnya, Rayya meringgis.
"Ya Rafa.. Kamu melakukannya," jawabnya pelan dan lirih.
Nafasku tercekat, cengkraman di tangannya terlepas begitu saja. "Ke--kenapa kamu tidak menghentikannya?" tanyaku penuh penekanan.
Rayya mendongkak, wajahnya sudah memerah, "Kenapa aku harus menghentikannya? Kita suami istri dan sudah seharusnya kita melakukan hal itu. Bahkan sejak empat bulan lalu setelah kamu mengucapkan ijab qobul."
Aku tersentak, menatap Rayya tak percaya setelah mendengar penjelasannya. Memang ada benarnya ucapan Rayya, tapi aku tidak bisa begitu saja melakukan itu pada perempuan yang tidak kucintai.
Meski aku seorang laki-laki, aku ingin melakukannya dengan orang yang aku cintai.
"Tapi---"
"---Kamu tidak mencintaiku bukan?" potongnya dengan lirih membuat perasaan yang tadinya marah mendadak melunak.
"Tidak usah khawatir, tidak akan terjadi apapun padaku. Kalaupun ada sesuatu terjadi padaku, aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu. Maafkan aku yang tidak bisa menghentikan dirimu semalam. Maafkan aku yang sudah membuatmu marah. Maafkan aku juga yang terlalu egois karena menginginkan dirimu," ucapnya panjang lebar di sertai isakannya yang semakin terdengar.
Aku hanya bisa terdiam sambil menatapnya. Tidak tau kenapa, tapi hatiku sesak melihatnya menangis sambil memohon maaf atas apa yang terjadi tadi malam.
Aku merasa tempat tidur bergerak, ternyata Rayya sedang memungut bajunya yang mungkin saja aku lempar. Dia mengenakannya dalam selimut kemudian beranjak meninggalkanku memasuki kamar mandi dengan jalan tertatih.
Aku memejamkan mata seraya menghembuskan napas kasar. Ketika mataku kembali terbuka, aku melihat bercak darah dari sprai biru kami.
Ternyata benar kami sudah melakukannya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Apa aku menyesal telah melakukannya dengan Rayya, istriku sendiri?
==::::==
Selama di kantor aku tidak bisa konsentrasi dalam hal apapun. Otakku masih berusaha untuk mengingat kejadian semalam. Hingga bayang-bayang itu muncul aku mengerang tertahan.
Bahkan aku tidak melakukannya sekali. Ada apa denganku ini Ya Allah?
"Pak Rafa, berkasnya akan segera saya proses," suara Azura menyadarkanku.
Aku menatapnya yang berdiri di depan meja. Aku mengusap wajah sebelum mentandatangani kertas di hadapanku. Setelah selesai, aku memberikan kertas itu pada Azura. Seakan teringat sesuatu, aku menahan Azura untuk tidak pergi dulu.
"Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya Azura.
"Semalam kamu antar saya pulang?" Azura mengangguk, "Saya pulang jam berapa? Dan siapa yang membawa saya masuk ke dalam rumah?"
"Semalam bapak pulang jam sebelas. Bu Rayya yang membawa bapak masuk, Ada apa ya Pak?"
Aku menggeleng, "Tidak. Terimakasih, kamu boleh pergi."
Azura mengangguk kemudian pergi. Aku menyandarkan tubuh ini di kursi seraya menghembuskan nafas lelah.
==::::==
Baru saja mobilku memasuki garasi, kulihat rumah masih dalam keadaan gelap. Aku melirik jam tangan, sudah pukul tujuh malam. Apa Rayya belum pulang?
Kali ini aku lupa tidak membawa kunci rumah. Aku pun berniat meneleponnya. Aku menyengit heran, tidak biasanya Rayya sulit di hubungi. Beberapa kali aku menghubungi Rayya namun hanya operator yang menjawab.
Aku menghela napas kemudian keluar dari mobil untuk duduk di kursi yang ada di teras. Sambil menunggu, aku memejamkan mata dan menyender pada tembok.
Entah berapa lama menunggu, aku mendengar deru mobil di depan rumah. Mata yang tadinya terpejam sontak terbuka. Aku menatap sesosok perempuan yang turun dari sebuah mobil.
Aku menajamkan penglihatanku ketika Rayya keluar dari mobil itu di ikuti dengan seorang lelaki berdiri di hadapannya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh ini, aku bisa melihat bahwa mereka saling melempar senyum.
Entah kenapa aku tak suka melihat pemandangan itu. Meski aku tidak tau siapa lelaki itu, tetap saja aku tidak suka Rayya melemparkan senyumannya untuk lelaki lain.
Aku melirik jam sudah menunjukan pukul delapan. Dan aku masih menunggu Rayya yang mengobrol dengan teman lelakinya. Rayya sepertinya tidak menyadari kehadiranku karena keadaan rumah kami yang gelap gulita.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu melambaikan tangannya. Sebelum benar-benar pergi, tiba-tiba saja aku terbelak melihat apa yang dilakukan lelaki itu pada istriku.
Bagaimana mungkin Rayya bisa melakukan itu di belakangku? Rasanya aku ingin sekali menarik Rayya dari sana. Kalau tidak aku ingin mematahkan kedua lengan lelaki itu yang berani-beraninya memeluk istriku.
Ya ampun, aku terdengar seperti seorang lelaki yang posesif. Tapi jtulah yang kurasakan. Aku tidak suka menatap pemandangan yang membuatku panas di depan sana.
Rayya melambaikan tangannya begitu mobil lelaki itu pergi. Dia segera berbalik dan memasuki rumah dengan senyuman di bibirnya. Dia berjalan santai seperti tidak sadar jika ada seseorang yang tengah mengamatinya berjalan.
Aku berdecak, kenapa dia sebahagia itu? Apa pelukannya lebih hangat dari pada pelukan yang ku berikan?
Astagfirullah, kenapa juga aku membanding-bandingkan pelukannya dan pelukanku?
Aku berdehem kemudian berdiri tepat di hadapannya. Seketika Rayya terperanjat kaget. Penerangan yang tidak seberapa namun berhasil membuat kami saling tatap.
Wajah terkejutnya begitu kentara di mataku."Bagaimana pelukannya, apakah sangat hangat?"
===♪♪♪===
Tbc :)
Rafaanya cemburu yaaakss wkwk
Vote and comment, kalau votenya banyak aku cepet update.
Cimahi, 5 November 2016
- Hana -
KAMU SEDANG MEMBACA
At The Time - [ Love Series 2 ]
Roman d'amourAkan ada waktu dimana aku benar-benar lelah dan menyerah untuk kamu. Dan jika waktu itu telah tiba, jangan sesali apa yang sudah terjadi. Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kapan dan dimanapun aku berada. - Zaretta Rayya Fazhiya - Akan ada wa...