KINAL
Hampir saja. Hampir.
Veranda sakit. Aku tahu itu. Aku datang pagi pagi karena ya.. Aku hanya ingin mengecek apakah dia sakit atau tidak. Eh ternyata, Sakit. Tebakanku benar.
Aku masuk ke kamarnya dan ternyata ia baru bangun. Padahal 1 jam yang lalu aku melihatnya masih tertidur.
Pipinya yang menyembul kedepan, sedikit memerah karena demam. Aku mengelud pipinya dan memberanikan diri mencium pipi dan keningnya. Berharap agar ia tak bangun dan kaget melihat aku ada disini.
Aku keluar, menunggu ia bangun dan memberikan bubur yang telah kubeli tadi sebelum kesini. Bibinya tau aku adalah teman Veranda. Jadi ia membolehkan aku masuk dan menunggu Veranda bangun di ruang tamu.
1 jam kemudian, aku mengecek Veranda kembali. Dan ternyata ia sudah bangun.
"Hai, Veranda?"
Ia tersenyum.
"Hai, Kinal."
"Kamu sakit?"
"Mmhm. Demam doang kok."
"Istirahat yang banyak ya. Kalo perlu senin nggak usah berangkat."
"Iya, Kinal."
"Udah makan?"
"Uhm, Belum"
"Makan dulu yuk. Mau?"
"Ngga ah. Ngga enak mulutnya."
"Ssht. Nggak boleh nolak. Mau sembuh ga?"
Ia mengerucutkan bibirnya, lalu aku tersenyum.
"Yaudah, aku ambilin makanannya dulu, ya?"
Ia mengangguk. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya yang merah itu.
Aku keluar dari kamarnya. Mengambil makanan yang sudah ku beli tadi.
Aku berfikir, jangan sampai sifatku bisa berubah didepannya. Harus selalu sama. Aku takut ia memikirkan hal yang tidak seharusnya.
Aku masuk ke kamarnya. Wajah Veranda terlihat kaget ketika aku membawakan bubur itu. Aku membuka bungkusnya dan langsung menyuapinya.
"Nih. Aaaaa~"
Veranda menerima suapan pertamaku. Lalu ia bertanya..
"Nal. Kamu beli bubur ini dimana?"
"Di depan rumah situ. Nggak enak?"
"Enak kok. Kok kamu tau aku suka bubur itu?"
"Hahahaha. Kan aku stalker."
"Astaga."
"Kenapa?"
"Ngga."
"Kenapa kamu megangin perut? Kamu hamil?"
Wajahku berubah serius.
"KINAAAAL NGGAAAK"
"Nggak apa?"
"AKU NGGAK HAMIL ISH."
"Oh. Kamu PMS?"
"IYA KAYANYA HAAA MULEEES."
"Tahan tahan. Ini udah buburnya? Gue makan aja ya?"
"Bilang aja mau. Wle."
"Hehe. Aku abisin ok?"
"Yayayaya."
Seharian itu, aku habiskan waktuku dengan Veranda. Menonton film korea ber-part part, sampai main PS4 yang dimiliki Veranda.
Sampai tiba tiba mulutku lepas kendali.
"Eh, Veranda."
"Ya?"
"Pernah mikir nggak?"
"Ya pernah lah. Masa nggak sih?"
"Bukan itu maksudnya."
"Apa?"
"Pernah punya perasaan yang sulit di jelaskan nggak?"
"Oh, Itu. Ya pernah sih. Cuman ya aku sih biasa aja."
"Emang pernah ngerasain?"
"Iyalah. Manusia kan semua punya perasaan."
Aku menoyor kepalanya.
"KENAPA HARUS NOYOR KEPALA SIK?!"
"Gausah nyolot dong. Biasa aja."
"Iyaiya ini nggak nyolot."
Veranda melamun sejenak, lalu dalam hati alu berkata..
"Ya, Veranda, aku memiliki perasaan padamu."
Sudah jam 5 sore. Aku memutuskan untuk pulang kerumah. Aku berpamitan dan pergi.
"Bye, Veranda!"
"Bye! Hati hati, ya!"
Mobilku melaju dijalanan Jakarta yang mulai padat karena orang orang kantoran mulai pulang.
Aku menyalakan mp3 ku untuk mengusir rasa sepi ini. Ntah kenapa akhir akhir ini aku tidak bisa tenang. Aku takut, besok, atau suatu hari nanti, Veranda tau apa yang selama ini telah aku rahasiakan.
Aku ingin seperti kak Diasta. Bisa bisanya dia menjaga rahasia sebegitu hebatnya sampai aku tidak tahu. Seberapa kuat imannya sampai ia bisa menahan gejolak rasa yang membuncah buncah ini?
Tiba tiba, mp3 playerku memainkan lagu dari Mike Mohede, Sahabat Jadi Cinta.
Satu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cinta.Tuhan, Jika kau mendengar doaku dari sini, Tolong.
Jelaskan padaku, bagaimana cara menghilangkan perasaan ini.
Tolong. Aku mulai tersiksa atas perasaan ini.Air mataku menetes perlahan. Apakah kak Diasta pernah merasakan ini?
Apakah kak Diasta pernah, menangis dibelakangku?TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchained Fate
FanfictionApakah aku bisa menentang takdirku? Perempuan itu rela. Ia rela melepaskan semuanya, hartanya, demi seseorang yang telah membuatnya jatuh hati dalam satu kedipan mata. Apakah perempuan itu dapat menentang takdir itu?