Pipi Kinal memerah. Air matanya jatuh tak terbendung. Katakata Papa Veranda tadi seperti menusuk jantungnya berkali kali.
Flashback ON
Kinal dengan semangat turun dari mobil dan langsung masuk kedalam rumah. Didepan, Ia melihat ada Papa Veranda sedang cemas. Kinal tidak tahu ia mencemaskan apa. Tapi saat Papa Veranda melihat Kinal, wajahnya berubah.
"Ada maksud apa kau kemari?"
"Aku.. mau nengok Veranda, Om."
"Jauhi Veranda."
"Apa?"
"Kau teman Diasta, Kan?"
"I.. ya.."
"Diasta itu seorang penyuka sesama jenis. Aku tidak mau anakku berteman dengan seseorang yang pernah disukai oleh seorang lesbian."
DEG.
"Tunggu. Darimana kau tau Diasta seorang lesbian? Saya sendiri saja tidak tahu."
"Orang tuanya. Saya kenal orang tua mereka. Saya membaca wasiat Diasta setelah meninggal."
"Anda jangan pernah merusak nama Sahabat saya, ya."
"Sahabat? Saya meragukan itu."
"Kurang ajar!"
Papa Veranda langsung menampar Kinal.
"Jauhi anak saya. Berikan dia salam perpisahan. Saya tidak mau anak saya memiliki teman seorang lesbian."
Papa Veranda langsung meninggalkan Kinal yang masih terpaku didepan pintu. Ia mengusap air matanya dan langsung naik ke kamar Veranda.
Ia tidak mau berlama lama disana. Jantungnya semakin lama semakin sesak. Setiap Veranda tersenyum padanya, Desakannya makin dalam dan semakin dalam. Kinal tak kuasa menahan desakan itu.
Ia hanya bisa mengusap kening Veranda. Ada niatan untuk mencium keningnya, tapi hatinya berkata.. tidak.
Jangan.
Dan kata kata yang bisa Kinal keluarkan hanyalah..
Selamat tinggal, Veranda.
Flashback OFF
Kinal
Kenapa ini semua bisa terjadi? Apakah seberat ini memiliki cinta yang tak seharusnya dimiliki?
Sesakit inikah?
Sekelebat senyum Veranda saat ia berada disampingku, wajah imutnya saat ia tertidur pulas dalam mobilku, dan wajah polosnya saat ia tertidur dalam selimut saat sakit.
Sesak. Hanya itu yang bisa kurasakan sekarang. Apakah ini, rasa yang seharusnya dirasakan pada seseorang yang telah melanggar takdir Tuhan?
Aku memacu mobilku dan langsung pulang. Airmataku terus menetes seiring memoriku dengan Veranda berkelebat dengan hebatnya dikepalaku.
Aku masuk kerumah dan langsung mengambil sebuah botol alkohol dari lemari. Hangat dan memabukan. Hangat seperti pelukan yang pernah kuberikan pada Veranda saat aku dan dirinya pergi ke pemakaman kak Diasta. Memabukan, seperti cinta. Tak mengenal siapa dia, Aku hanya seorang pelayan, dan ia seorang ratu. Mana bisa seorang pelayan mencintai ratunya? Hanya dongenglah yang membenarkan hal itu.
Lihat? Cara bicaraku mulai melantur, ya?
Veranda. Nama indah yang takkan bosan kuulang berulang berkali kali.
Seseorang yang membuatku jatuh dalam cinta dan mabuk dalam putarannya.
Dan aku?
Hanya se-onggok sampah yang berani beraninya mencintai sosok ratu yang cantik dan tak bersalah.
laknatnya diriku.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchained Fate
FanfictionApakah aku bisa menentang takdirku? Perempuan itu rela. Ia rela melepaskan semuanya, hartanya, demi seseorang yang telah membuatnya jatuh hati dalam satu kedipan mata. Apakah perempuan itu dapat menentang takdir itu?