"Besok malem lagi, ye, tempat biasa!" serunya seraya melambaikan tangan pada teman-temannya yang lamat-lamat menjauh. Tersenyum lebar, berandai-andai jika malam besok mereka akan kembali bersenang-senang.Kemudian, melanjutkan langkah. Bersenandung ringan menyusuri jalan yang memiliki pencahayaan remang-remang. Yah, sudah tidak aneh jika Jalan Anggrek ini minim penerangan.
Duh, Ketua RT macam apa yang tidak mempedulikan hal--meski--sekecil ini, batinnya tidak habis pikir.
Drrt!
Getaran dari dalam tas membuat langkahnya terhenti. Memindahkan tas di punggung ke depan agar lebih mudah mengambil ponsel.
"Ah, pasti bokap," gerutunya kesal. Dan, dugaannya memang benar ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
Saat itu, dia yakin, jika pada dering keempat dia tidak segera mengangkat, hidupnya tidak akan baik ketika di rumah nanti.
Pelan-pelan, dia menyentuh layar dengan kepala yang terus berpikir, apa alasan meyakinkan yang harus dikatakan pada papanya kenapa dirinya bisa pulang telat.
Ada pelajaran tambahan?
Rapat ekskul?
Atau ... rapat osis?
Dia langsung berdecak. Lupakan opsi ketiga. Dia 'kan bukan anggota osis. Kemudian, dia terdiam, mengabaikan telepon papanya. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapat alasan!
Tidak berselang lama, matanya berbinar. Dia dapat alasan!
"Oke, gue--"
Namun, belum sempat idenya terlaksana, Seperti sambaran kilat, dari arah belakang tiba-tiba saja seseorang berlari dan mengambil ponselnya. Seketika matanya membulat marah.
"WOI! HP GUE!" teriaknya geram. "COPET!"
Sembari mengejar, ia menengok kanan dan kiri, berharap ada bantuan. Tapi, sial karna ini adalah daerah yang sepi ditambah sekarang bukan pagi hari.
"Bangsat!" rutuknya pada diri sendiri. Tau begini, lebih baik tadi ia minta antar Aldo saja.
Kecepatan lari pencopet yang memakai jaket buluk di depannya entah kenapa kian memelan, dan ia tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia pun mempercepat laju mencoba untuk mendekat. Dan sewaktu jarak keduanya cukup terjangkau, ia lalu menjulurkan kaki, menendang punggung si pencopet hingga tersungkur di atas kasarnya aspal.
Karna terbawa kesal, ia pun memukul dan menendang--tanpa membuka hoodie jaket--si pencopet dengan membabi buta sampai tubuhnya terlihat tidak sedikit pun bergerak kecuali hembusan nafas yang tersengal-sengal.
"Lo harus tau tata krama!" jeritnya kesal, meludah tepat di sebelah tangan penuh luka si pencopet yang masih kuat menggenggam ponsel miliknya.
Dengan kasar, ia mengambil ponsel itu hingga tubuh pencopet tersebut berbalik. Menunjukkan wajah seperti apakah orang yang berani-berani mencuri barangnya.
Namun ketika itu, detik jam seakan berhenti, udara berubah kelam, dan telinganya mendadak pengang. Amarah yang berapi-api, tiba-tiba saja hilang lenyap bagai tertelan bumi, bahkan mulut yang tadinya ingin memaki, kini kehilangan arogannya.
Dia, Cakra Redino Tridana, tidak salah lihat, 'kan?
Dia, Cakra Redino Tridana, apa benar baru saja menghajar perempuan?
Mata terpejam perempuan tersebut perlahan-lahan terbuka dengan susah payah, membuat Cakra mau tidak mau memperhatikan itu. Hingga tatapan mereka bertemu. Cakra bungkam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia ingin sekali membenci dirinya sendiri.
Dan, untuk pertama kalinya, Cakra ingin sekali melupakan wajah seseorang yang bahkan tidak ia kenal itu.
*~*
Senin, 14 November 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...