18!

3.7K 306 2
                                    


"Despacito"

***

         Keheningan masih menyelimuti kebersamaan Cakra dan Dira sejak mereka memutuskan untuk duduk di halaman belakang. Cakra menghela nafas berat, menyandarkan kepala di sandaran kursi santai lalu memejamkan mata. Dia nampak tidak berniat membuka suara, begitu pula Dira yang setadian memandang kosong ke arah jajaran tanaman hias di depannya.

"Ini gorengannya, maaf tante lama."

Suara Bu Tamara membuat Dira tersadar. Ia tersenyum kemudian mengangguk ramah. "Iya, Tante, nggak apa-apa, maaf aku ngerepotin," ucapnya tak enak.

Bu Tamara balas tersenyum. "Nggak ngerepotin, kok," sahutnya seraya menaruh piring gorengan di meja, tatapannya lalu beralih pada si putra sulung, mengerutkan dahi. "Kamu malah diem aja, sih, Cak, dari tadi. Ajak ngobrol dong, pacarnya. Gimana, sih, jadi cowok."

Cakra membalasnya lewat lirikan mata, membenarkan letak duduk, menyisir rambut dengan jari lalu menyomot gorengan di meja sebelahnya.

"Makan, Yang. Jangan sampe pulang dari sini kelaperan, lho."

Sekali lagi, Bu Tamara mengerutkan dahi. Apaan, sih? Berkata begitu saja anak itu tidak menatap lawan bicara. Bu Tamara lantas menggeleng kepala. Mungkin mereka sedang ada masalah, pikirnya.

"Ya udah, Mama ke dalem dulu," pamitnya, menepuk bahu Dira lembut. "Dienakin aja, ya, Sayang. Nggak usah sungkan."

"Iya, Tante."

Setelah itu, lagi-lagi kesunyian menjadi penengah di antara keduanya. Cakra sedang asik makan dan melamun, masih tidak menghiraukan gadis di sebelahnya. Ah, Dira ingin sekali menangis saat ini juga.

"Kamu udah bosen, ya, sama aku?"

Mendengarnya, Cakra lumayan tersentak. "Ngomong apa, sih? Ngaco aja kamu," balasnya santai.

"Kalo ngomong, lawan bicaranya ditatap," gumam Dira, namun masih bisa didengar jelas oleh Cakra.

Laki-laki berkaos putih itu tiba-tiba berdiri, berjalan menjauh ke arah salah satu pot bunga mawar milik sang mama. Dira memperhatikan dengan seksama. Sedikit bingung pada tingkah Cakra tersebut.

Tak!

Kedua bola mata Dira lantas membulat ketika melihat Cakra mematahkan batang mawar itu. Dia mau apa, sih? Jika Tante Tamara melihat, beliau pasti marah besar!

"Kamu ngapain?"

"Kamu satu-satunya orang yang bikin aku berani motek mawar punya Mama." Cakra tersenyum lembut, mendekati Dira dan menyerahkan bunga itu. Yang mana segera diambil oleh gadis di hadapannya. "Lain kali jangan suka ngomong sembarangan. Nggak enak di kuping, tau."

Dira mengulum bibir bawahnya, terharu. Kedua netra tak lepas dari mawar merah di tangannya. Bungan ini adalah bunga kesukaannya, dan dipersembahkan langsung oleh Cakra, kekasihnya.

"Cakra ... makasih," ucap tulus Dira, menatap laki-laki di hadapannya, lekat.

Cakra nyengir lalu mengusap rambut Dira, dia mengambil posisi sejajar dengan wajah gadis itu, kemudian Cakra menangkup kedua pipinya. Pipi yang sempat kehilangan rona beberapa saat. Mereka saling memandang.

"Maaf, Dira. Dua hari belakangan ini aku kekanakan banget," Cakra menghela nafas. "Aku cuma marah. Marah karna kamu terlalu deket sama Eljuna-Eljuna itu."

Dira tak langsung menjawab, dia menunduk sebentar lalu mendongak, tersenyum pilu. "Maaf, Cakra, tapi aku emang nggak ada apa-apa sama dia. Kita cuma temen yang kebetulan lagi ditugasin bareng."

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang