"Kontrol"***
Jika mencintai hanya untuk membenci, maka pergilah.
Jika mencintai hanya untuk menyakiti, maka tinggalkanlah.
Jika mencintai hanya untuk menambah beban, maka lepaskanlah.
🍃
Dira tau bagaimana rasanya kesepian di tengah keramaian. Dira mengerti bagaimana rasanya tersenyum di balik kepalsuan. Dira juga paham bagaimana rasanya ingin bicara, tapi tidak bisa apa-apa.
Semua kepahitan itu, Dira memahaminya dengan baik. Selama bertahun-tahun.
Namun, meski banyak hal yang telah ia rasakan, Dira masih belum bisa mengatakan bahwa dirinya sekuat itu. Dira masihlah gadis lemah yang rapuh, gadis lemah yang masih membutuhkan tumpuan untuk berdiri. Selama ini, ia selalu terbiasa menggapai tanpa ada yang pernah mau meraihnya.
Dira adalah anak tunggal yang lahir dari keluarga yang masih lengkap. Mama dan Papa. Mungkin bagi sebagian orang yang mengenalnya, Dira adalah gadis manja yang hidup di tengah keluarga bahagia. Hidup serba berkecukupan atau hal-hal membahagiakan lainnya.
Tapi, itu hanya menurut kacamata orang, bukan? Mereka tidak pernah tau bagaimana kehidupan Dira yang sebenarnya sejak kecil. Memiliki segalanya, namun terasa tidak berguna.
Dira tersenyum sendu. Jari-jemarinya mengusap lembut kaca bingkai foto di tangannya. Foto dirinya dan Eljuna ketika TK. "Cuma kamu yang ngerti aku," katanya, kemudian mengetuk-ngetuk wajah Eljuna dengan telunjuk.
Tes!
Tes!
Air mata itu kembali mengalir. Satu-persatu. Terjatuh atas foto. "Seandainya aku bisa bales perasaan kamu. Pasti nggak bakal kayak gini, El." Dira memeluk bingkai kecil itu, terisak. "Maaf, sekali lagi maaf."
***
Setelah mematut diri di depan cermin dan memakai tiga semprotan minyak wangi, Cakra bergegas keluar kamar dengan senyum sumringah di wajah.Membuat Mama yang sedang berdiri di depan kulkas--yang posisinya ada di samping tangga--lantas memperhatikan anaknya dari bawah sampai atas. "Rapih amat, Cak. Mau ke mana kamu?"
Cakra memberikan cengiran lebarnya. "Main dong, 'kan udah liburan. Bosen di rumah mulu." Anak itu lalu menyalimi Mama, mencium pipi sekilas. "Cakra kayaknya pulang malem. Nggak usah ganggu, ya."
"Males gangguin kamu, mah, nggak ada faedahnya," sahut Mama, tak acuh. Kemudian berjalan ke dapur dengan tangan membawa kangkung, melanjutkan acara memasaknya.
Cakra berdecak kagum sepeninggal sang mama. Wah! Mamanya itu memang luar biasa. Jika biasanya orang tua di luar sana memilih ingin tau, Mama Tamara ini justru memilih tak ingin tau. Aneh, tapi bagus juga, sih. Haha.
"Abang mau ke mana?" Kali ini, Mahen yang bertanya. Dan Cakra baru menyadari eksistensinya setelah anak itu mengeluarkan suara.
"Main. Mau ikut?"
Mahen langsung memutar leher ke arah Cakra. Matanya berbinar. "Serius, Bang? Mau dong, Mahen bosen--"
"Pisah kendaraan, tapi, ya?"
"Kampret!"
Mendengar itu, Cakra kesal sekaligus geli. Kesal karena adiknya sudah bisa mengumpat padanya dan geli karena berhasil mengerjai Mahen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...