"Company"
***
Helaan nafas entah ke berapa terdengar dari arah Cakra yang sedari tadi hanya sibuk dengan ponselnya. Mengusap wajah, memejamkan mata seraya mengigit bibir bawah, lalu membenturkan kepala ke tembok, begitu berulang-ulang, membuat Faisal yang melihatnya jadi gerah sendiri.
"Kenapa, sih, lo? Ripuh banget."
"Al, lo inget nggak waktu itu orang yang jalan sama Dira kayak gimana?" tanya Cakra, tidak menghiraukan Faisal yang mendengus jengkel, dan kembali fokus pada PES-nya.
Dari samping Cakra, Aldo menggaruk belakang kepala. "'Kan waktu itu gue bilang, gue kayaknya salah liat, Cak," ucapnya, berusaha terlihat normal. Tapi, dia tau jika Cakra tidak sebodoh itu. Apalagi dengan predikat cowok terkeponya.
"Nggak usah nutup-nutupin juga gue tau, Do. Bilang aja. Meskipun sekilas, lo pasti tau 'kan orang yang jalan sama Dira make baju apa?"
Sejenak Aldo mengalihkan perhatian dari ponselnya. Nampak berpikir. "Kalo nggak salah, pake jaket Bomber Army hijau tua. Mereka masih pake seragam sekolah, Cak."
Alis Cakra menyatu. Jaket Bomber Army hijau tua? Banyak orang yang memiliki jaket seperti itu. Pasti sulit bagi Cakra untuk melacaknya. Ah, ya, Tuhan ... dia benar-benar tidak bisa hidup tenang dua hari belakangan ini.
"Apa mungkin menurut kalian kalo Dira main api?"
Kalau saja situasi memungkinkan, pasti Faisal akan menyahut, "nanti melepuh, dong, Cak? 'Kan main api". Tapi, saat ini berbeda, temannya itu sedang galau parah. Jadi, dia memilih untuk tetap diam, seperti biasanya.
"Jangan nething," Aldo menyahut. "Nanti kalau lo asal tuduh, yang ada malah kacau hubungan lo sama Dira."
Cakra menunduk dalam. Apa yang dikatakan Aldo memang benar, tapi dia juga tidak bisa diam saja seperti ini. Cakra harus segera menemui gadis itu.
"Mau ke mana lo?" tanya Faisal saat melihat Cakra bangkit dari ranjang, memakai jaketnya kembali.
"Ke rumah Dira." Cakra membuka pintu, namun sebelum benar-benar pergi, dia kembali berkata, "nanti kalo sempet, gue balik ke sini."
Ke sini yang dimaksud adalah rumah Faisal.
***
Alana memukul bahunya berkali-kali, berharap rasa pegal yang menyerang segera menghilang. Seharian ini, Alana bekerja keras. Menjadi buruh cuci dan gosok, seperti biasanya. Dari rumah ke rumah. Melelahkan, tapi begitu melihat hasilnya, rasa lelah itu seakan terasa seperti sapuan angin saja.
Pendapatannya hari ini bisa terbilang cukup banyak dari hari-hari sebelumnya. Lumayan, untuk keperluannya selama seminggu, dan sisanya bisa Alana sisihkan untuk ditabung. Tabungan agar bisa menyewa rumah yang lebih layak suatu saat nanti.
Alana menenggak minumnya sampai tandas, lalu membuang botolnya ke tempat sampah terdekat. Saat ini Alana sedang berada di warung makan, habis mengisi perut, tentu saja.
"Bu, pesen pecel lelenya empat, ya? Dibungkus."
"Iya, Dek. Tunggu sebentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...