"I Choose To Love You"***
"Ngomong depan muka gue."Cakra berkedip, melepas pelukannya lalu memandang Alana skeptis. "A-apa?"
Ekspresi gadis di depannya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dari yang tadinya sedih, menjadi garang. Membuat Cakra bingung bagaimana harus bersikap.
"Lo mau kita kayak dulu 'kan? Kayak sebelum kita kenal? Coba bilang depan muka gue, kalo lo nggak ada perasaan sama gue lagi!"
Cakra mendesah, dengan tergagap, ia berkata, "bu-bukan gitu maksud gue. Gue sayang sama lo, banget malah, tapi—tapi gue nggak bisa."
"Kenapa?"
"Gue ini berengsek, Lan," gumam Cakra seraya berusaha memegang jemari Alana yang selalu ditepis gadis itu, "gue terlalu banyak bikin lo sedih. Orang seberengsek gue, nggak pantes dapetin cewek sebaik lo."
Alana terdiam, membiarkan Cakra menggenggam tangannya. Hingga akhirnya, satu kalimat yang keluar dari mulut Alana membuat Cakra bungkam.
"Kalo itu mau lo, gue mau lo lupain gue seutuhnya. Jangan peduliin gue, jangan ngikutin gue diem-diem, jangan nyuruh Farel buat jagain gue," Alana menjeda, "dan jangan kangen gue."
"Lan—"
"Lo bilang, lo cowok berengsek, 'kan? Kalo gitu, lakuin apa yang gue suruh. Cowok berengsek pasti bakal gampang ngelakuin itu semua."
Bola mata Alana berair, dan Cakra semakin tidak tega menyiksa gadis itu sampai sejauh ini. Tapi, terlalu banyak kesalahan dalam dirinya. Cakra ragu. Ia takut lagi, lagi dan lagi menyakiti Alana.
Tapi, untuk melupakan Alana ... juga bukan pilihan.
"Maaf, gue nggak bisa."
"Karena lo bisa egois, kali ini biarin gue egois juga." Alana melengos, memandang sendu tirai pembatas ranjang di UKS, "biarin gue nggak nyerah kali ini."
Setelah itu, Alana pergi dengan tertatih-tatih, meninggalkan Cakra yang terdiam seakan kehilangan nyawa.
***
"Yeuh, anaknya Papi Edwin bisa sakit juga!"
Refleks, Cakra mengubah posisi menjadi duduk ketika melihat teman-temannya satu-satu persatu masuk kamarnya dengan wajah sengak. Tidak ada prihatinnya sama sekali, tidak ada buah tangan, tidak ada ucapan cepat sembuh atau semacamnya. Dasar teman sinting!
Dengkusan sebal pun Cakra layangkan. Menatap Galang, Faisal dan Aldo, bergantian. "Lo pada nggak diajarin sopan santun, ya, sama bonyok? Maen masuk sembarangan kamar orang aja."
"Oh! Lo emang orang? Gue kira mamalia laut," celetuk Galang, pura-pura terkaget, lalu menepuk keras pundak Cakra. "Tapi, kayaknya lo lebih mirip orangutan."
"Bodo amat," sahut Cakra, kemudian mengalihkan pandangan pada Faisal dan Aldo. Matanya lantas melotot melihat apa yang mereka lakukan. "WOY! ANJENG! ITU POSTER CEWEK-CEWEK CANTIK GUE JANGAN DICOPOT! BAPET!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...