"Like A Knife"***
Alana hari ini tidak masuk sekolah karna ia merasakan nyeri yang sangat hebat ketika bangun tidur di pergelangan kaki kanannya. Alana sedikit menyesal mengetahui dirinya keseleo, padahal kemarin masih belum terlalu nyeri.
"Aduh, gimana ini," gumam gadis itu seraya menyentuh hati-hati pergelangan kakinya yang bengkak. Ia harus segera mengobatinya, tapi untuk berdiri saja Alana butuh tenaga ekstra.
Alana harus memberitahu Pelangi, atau Bu Maryam agar mereka mau membantunya. Tapi ..., gadis itu menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Alana lantas menghela nafas. Jam segini biasanya mereka sudah berangkat mencari barang bekas.
Lalu, siapa yang bisa membantunya?
Bunda Aisyah? Sesaat wajah Alana berubah sumringah, namun tak bertahan lama. Jika minta tolong Bunda Aisyah, ia takut Hafiz mengetahui dan mengkhawatirkannya. Anak itu baru saja sembuh.
"Urut-urut sendiri ajalah."
Namun, niatan itu Alana gagalkan ketika ia mendadak mengingat seseorang. Gadis berkaos putih itu merangkak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk belajar. Meraih ponsel dan memencet angka dua cukup lama, hingga suara seseorang terdengar dari sana.
"Halo, Sayang, kangen sama gue?"
Alana memutar bola mata. Sedikit menyesal karna sudah menelepon. "Bisa tolong izinin gue sekolah?"
"Lo kenapa emang? Sakit? Bilang gue!"
"Gue keseleo, Tan," sahut tenang Alana, mengabaikan nada panik perempuan lebay di ujung sana.
"HAH? KOK, BISA? LO ABIS NGAPAIN?"
Abis nyungsep di selokan. Seharusnya Alana bilang begitu, tapi kayaknya enggak, deh.
Gadis itu berdeham sebelum menjawab dengan muka memerah, "gue ... jatoh."
"Rumah lo di mana? Gue mau ke sana bawa tukang urut langganan Mama."
Apalagi sekarang?
"Nggak usah, Intan. Besok juga gue sembuh," tolak Alana seraya menggaruk pipi. Tidak nyaman dengan perkataan Intan.
"Keseleo nggak bakal sembuh kalo nggak diurut. Buruan kasih tau alamat rumah lo!" Dan, gadis di seberang sana sama keras kepalanya.
"..."
"Lan! Buru kasih tau gue, sebelum gue lacak sendiri, nih!"
Alana menghela nafas. Dia seketika memandang sekeliling. Rumah? Ini bukan rumah, tapi ini gubuk. Dan, Alana malu jika harus mengundang Intan kemari. Alana takut Intan tidak nyaman atau semacamnya.
"Gue nggak yakin harus ngasih tau di mana rumah gue."
***
Bel masuk berbunyi begitu nyaring, hingga anak-anak yang sebelumnya masih di luar kelas segera masuk dan melanjutkan obrolan mereka di dalam sebelum guru pelajaran datang.
Kecuali Cakra.
Laki-laki itu setadian berdiri di mulut pintu, menunggu seseorang. Tak henti-henti dia bersikap gelisah; menggoyangkan kaki, menggigit bibir dengan kepala celingukan kesana-kemari, membuat Farel yang melihat itu lama-lama gerah juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Novela JuvenilSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...