47!

3.7K 301 10
                                    


[Warning, part ini kagak ada feelnya]

"What If I Was Nothing"

***

Bisakah manusia memutar waktu untuk memperbaiki sebuah kesalahan?

Bisakah?

Atau ... segalanya akan terus begini agar manusia sadar untuk tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan?

Namun, jika bisa,

Cakra ingin mengulang semuanya ... semuanya dari sebelum ia mengenal perempuan manis bernama Alana.

💧💧💧


"Pergelangan kakinya patah dan dia juga mengalami cidera leher. Mungkin keduanya terbentur benda keras ketika kecelakaan barusan. Tapi, alhamdulillah itu semua berhasil kami tangani. Hanya butuh beberapa bulan untuk anak Ibu benar-benar sembuh," jelas Dokter Imran yang baru saja keluar ruangan.

"Cidera lehernya ... parah nggak, Dok? Terus, sembuhnya kira-kira berapa lama?" Tanya lirih Bunda Aisyah, wajahnya luar biasa kacau.

Pun Dokter Imran menepuk pelan bahu Bunda Aisyah, bermaksud menenangkan. "Nggak sampai beminggu-minggu, InsyaAllah. Karena cideranya juga tidak terlalu fatal. Mungkin nanti Ibu bisa bantu kompres lehernya supaya otot lehernya lebih rileks."

"Ya Allah ... Alana."

Suara tangis kembali terdengar dari Bunda Aisyah, disusul Intan yang terisak dalam pelukan Farel. Bu Maryam dan Pelangi pun menangis, namun tidak sekencang mereka. Sementara Cakra, hanya diam dengan pandangan kosong. Tampilannya tidak kalah kacau dari Bunda Aisyah yang tanpa berganti baju dasternya langsung ke rumah sakit begitu mendengar kabar tentang Alana.

Semuanya kacau, kecuali Farel yang nampak lebih kuat meski perasaannya khawatir setengah mati. Pasalnya, ialah yang pertama kali menemukan Alana dalam keadaan paling mengerikan untuk Farel bayangkan kembali.

Darah. Desahan lirih serta tubuh yang lemas.

"Cak?" Panggil Farel ketika melihat Cakra yang sejak tadi diam bagai mayat hidup di sebelahnya. "Alana bakal baik-baik aja. Percaya sama gue."

Sang empunya nama tidak menghiraukan suara Farel. Kuku jempolnya sibuk menggaruk kulit di bawah jemari tanpa henti, membuat Farel yang melihatnya lantas menarik lengan kanan Cakra. Menatap nanar kulit jarinya yang berdarah.

Farel berdecak. "Jangan nyakitin diri lo sendiri! Semua nggak berubah sekalipun lo mati."

"Ini salah gue," Cakra bergumam pilu, "seandainya gue lebih cepet sedikit, seandainya gue nunggu dia sampe pulang, mungkin ... mungkin ini nggak bakal terjadi."

"Emang, hiks, salah lo!" Sahut Intan, menjauhkan diri dari Farel. "Lo itu-"

"Sssttt ... udah," tenang Farel seraya menarik kepala Intan ke bahunya, membiarkan gadis itu menguras tangisnya di sana.

"Alana belum sadar, Bu?" Suara Bu Maryam terdengar. Beliau berdiri menghadap Bunda Aisyah yang baru saja melihat Alana.

Wanita berkerudung itu menggeleng. "Belum, Bu. Mungkin pengaruh obat. Semoga aja besok udah siuman," jawabnya. Bu Maryam lantas mengusap lengannya pelan.

"Saya harus pulang dulu, Bu. Kontrakan belum dikunci karena buru-buru ke sini. Nanti saya balik lagi setelah selesai," ucap Bu Maryam.

Bunda Aisyah menghela napas. "Saya juga harus pulang. Hafiz nangis terus pengen ikut, saya mau ngabarin keadaan tetehnya sama dia."

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang