38!

3.3K 253 7
                                    


"12.30"


***


"Liat Dira nggak, Rei?" tanya Juna pada salah satu teman Dira yang baru keluar kelas.

"Dira tadi disuruh ke perpus, sepuluh menit sebelum bel. Tuh, tasnya masih di dalem."

Juna menggaruk pipinya. "Sebelum bel?" ulangnya, sang lawan bicara mengangguk. "Oke, thanks, ya."

Dengan pikiran sudah berkeliweran kemana-mana, Juna masuk kelas Dira, mengambil tas gadis itu lalu berlari ke perpustakaan sekolah. Ia khawatir dan itu bukan tanpa alasan. Setelah tau Dira menangis lagi karena hal yang sama, Juna sudah tidak bisa berpikir jernih, ia takut Dira kembali drop. Karena sejujurnya, pemandangan yang paling menakutkan bagi Juna di dunia ini adalah Dira yang terbaring di brankar.

"Permisi, Bu, Diraya Angelina udah keluar dari sini belum?" tanya laki-laki itu setelah sampai perpustakaan. Napasnya tidak beraturan akibat berlari.

Wanita setengah abad di hadapan Juna membetulkan letak kacamata sembari melihat-lihat kartu pengunjung siswa, mengecek apakah kartu dari siswa yang bernama Diraya Angelina sudah dikembalikan atau belum.

"Kayaknya belum. Soalnya kartunya nggak ada."

Mendengar itu, Juna lantas bernapas lega. Ia tersenyum, menyerahkan kartu perpustakaan miliknya lalu masuk ke dalam, menelusuri setiap blok yang ada. Selama di sana, Juna menahan diri untuk tidak meneriakkan nama Dira. Entah kenapa, semakin jauh ia berjalan, perasaan khawatirnya tambah menjadi.

Hingga ketika manik matanya terpaku pada satu titik, Juna memelankan langkah. Ia sudah menemukan Dira. Gadis itu duduk membelakanginya di salah satu meja dengan kepala menempel di atasnya. Tubuh Juna pun meremang bersamaan dengan detak jantung yang menggila.

Dira nampak lemas, bisa dilihat dari sebelah tangan yang menjuntai bebas di kolong meja. Namun, sebisa mungkin Juna tetap berpikir positif. Bisa jadi Dira sedang tidur, 'kan?

"Diraya Angelina," Juna berbisik lembut setelah berada di sebelah gadis itu. Mengusap sayang rambut tergerainya. "Bangun, yuk, udah pulang, nih. Kamu 'kan belum minum obat dari pagi."

Tidak ada respons berarti. Dira masih memejamkan mata seolah itu kedamaiannya. Juna terdiam sejenak, menjilat bibirnya yang mengering, kemudian mengangkat kepala Dira, ditaruh bahunya. Sekarang Juna sadar, gadis dalam pelukannya itu tidak sedang tidur.

Dengan gamang, Juna mengangkat tubuh Dira sambil terus melafalkan kalimat, "Diranya Juna kuat ... Diranya Juna pantang menyerah."

***


       Cakra melirik Alana sekali lagi sebelum akhirnya memakai helm. Gadis itu lebih banyak diam hari ini. Ia juga bersikap dingin seperti dulu. Ditanya tidak menyahut, dijahili malah marah, membuat Cakra sungguh penasaran. Apa dirinya telah berbuat salah? Ah, menyebalkan! Cakra sudah bertanya begitu bahkan sebelum negara api menyerang.

"Lan, gue bikin salah?" tanya Cakra akhirnya, tidak tahan.

Lirikan tak acuh Alana menjelaskan segalanya. Gadis itu enggan menjawab. Cakra paham betul jika perempuan memang sulit dimengerti. Perempuan lebih suka menggunakan bahasa isyarat dibanding berbicara. Cakra sungguh peka.

"Ya udah, deh, kalo nggak mau ngomong." Cakra pasrah. Ia bergerak memakaikan Alana helm, namun langsung ditepis gadis itu.

"Gue bisa sendiri!"

Cakra menggaruk kepala, lalu segera dirutukinya karena yang ia garuk adalah helm.

"Mau es krim nggak?"

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang