42!

3.2K 345 23
                                    


"Close As Strangers"

***

"Kalo ternyata selama ini lo cuma pelampiasan gue, gimana?"

Kalimat itu terasa mendengung di telinga Alana, ditambah suasana sepi yang makin mempertegas sesak di dada. Untuk sesaat ia tercenung.

Sebenarnya apa yang laki-laki di depannya ini bicarakan?

Alana tertawa getir, mengusap rambut frustrasi. "Terserah, deh, mau ngomong apa. Gue pulang dulu. Kayaknya lo lagi nggak sehat."

Baru beberapa langkah Alana berjalan, Cakra menyusulnya, menahan lengan gadis itu. "Gue anter," ujarnya.

Perlahan, Alana melepaskan tangan Cakra seraya menggeleng. "Nggak usah. Lo istirahat aja. Mungkin karena baru dari rumah sakit, lo jadi ngelantur."

Seakan tidak mendengarkan, Cakra malah menarik Alana menuju motor. lalu memakaikan gadis itu helm miliknya. Sementara Alana yang diperlakukan demikian hanya terdiam memperhatikan wajah laki-laki tersebut.

"Lo nggak pake helm?" tanya Alana. Cakra tidak menjawab dan justru memberikannya jaket.

"Pake."

"Nanti lo masuk angin."

"Enggak."

Meski Cakra berbicara tanpa menatap matanya, tapi Alana tau. Cakra tidak berubah. Cakranya tidak akan pernah berubah.

Setelah Alana mengenakan jaket dan menaiki motor, Cakra segera melajukan motornya. Angin malam lantas menyapu wajah keduanya, namun lebih banyak pada Cakra. Di belakang, Alana menghela napas. Laki-laki yang malam ini memakai kaos merah itu nanti pasti masuk angin karena kekeraskepalaannya.

Perlahan, Alana pun melingkarkan kedua lengannya ke perut Cakra, menyandarkan kepala di bahu tegap laki-laki itu. "Otak lo udah nggak bener, jangan sampe badan lo ikut sakit."

Sejenak, Alana merasakan tubuh Cakra menegang, namun tak berapa lama kembali rileks. Dia masih enggan berbicara, membuat Alana makin sulit untuk mencoba menyelami.

"Cak," panggil lirih Alana.

"Apa?"

Sebelum berbicara, Alana membuang napas, mengeratkan pelukannya pada Cakra.

"Kangen."

Pada titik ini, Alana menyadari, bahwa dirinya sudah jatuh terlalu dalam pada seseorang bernama Cakra Redino Tridana.

***


"Gue nginep, ya, Rel."

Farel menutup pintu kamar seraya menatap Cakra yang sudah telungkup di kasurnya. Laki-laki itu menghela napas. Pasti Cakra ada masalah, pikirnya.

"Nggak dicariin bonyok?" tanyanya setelah kembali duduk di meja belajar. Melanjutkan tugas yang tertunda karena kedatangan tamu tak diundang itu.

"Nggak. Gue udah bilang." Cakra berbalik, beralih memandang langit-langit kamar. Ia selalu suka kamar Farel karena nuansa abu-abu yang kental sekali. Berbeda dengan kamarnya yang justru dominan putih dibanding warna jantan-hitam.

"Lagi ada masalah?"

"Emang besok ada PR?" alih Cakra.

"Ada apa sama Alana?"

Cakra mendengkus lalu memiringkan tubuh. Farel memang mengenal dirinya, tapi saat ini Cakra sedang tidak ingin mengatakan apa pun pada siapa pun.

"Gak ada masalah. Cuma lagi males di rumah. Belakangan ini Adis minta tidur bareng gue terus. Lo 'kan tau sendiri kalo gue tidurnya gak bisa kalem," alibi Cakra, tak sepenuhnya bohong.

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang