"Somewhere in Neverland"
***
Seharusnya, malam ini adalah waktu yang tepat untuk Cakra membicarakan masalah Alana. Keluarganya sedang berkumpul, menonton televisi di ruang tamu dengan seriusnya, dua adiknya juga ada di sini, bersama kesibukannya masing-masing; Adis bermain barbie yang baru dibelikan Papa dan Mahen sedang bermain game di tablet, duduk tepat di sebelahnya.
Tapi, situasinya justru membuat Cakra gugup. Entah kenapa.
Berkali-kali dia melirik kedua orang tuanya, kemudian menunduk saat sang mama balik menatapnya. Lalu, Cakra melirik lagi sampai ia benar-benar kepergok Mama dan tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum kodok.
"Kenapa, sih, kamu?" tanya Mama, mengalihkan perhatian Papa yang duduk di sebelahnya.
Cakra menggaruk tengkuknya. "Itu ... ada yang mau Cakra omongin, Ma."
"Kamu nggak 'ngebuncitin' anak orang, 'kan?"
Mendengar celetukan Papa, Cakra refleks membulatkan kedua mata. "Apaan, deh, Papa! Ngomongnya suka dibikin-bikin," gerutunya. "Bukan itu. Ini soal Alana."
Mama segera mengangkat kepala dari bahu Papa ketika mendengar nama Alana disebut, menatap anaknya penasaran. "Kenapa sama Alana? Kamu nggak bikin masalah sama dia, 'kan?"
Dalam hati, Cakra menggerutu. Pasti jika soal Alana, hasrat kepo mamanya langsung bangkit.
"Emh, apa namanya, itu lho, Ma."
"Baru belajar ngomong, ya, Bang?" celetuk Mahen, dengan wajah masih mengarah pada tablet.
Cakra melolot. "Diem!"
"Ngomong yang jelas, sih, Cak!" Seru Mama yang mulai tidak sabar.
"Itu--"
"Papa sumpel remote, nih, kalo itu-itu terus."
"Iya, Papa! Ini juga mau ngomong!" Cakra menggigit bibir bawahnya, gemas. Susah memang hidup di keluarga yang memiliki varian sifat. "Alana boleh kerja di sini nggak?"
"Kamu mulai suka sama Alana?" Mata Mama berbinar. Binar yang sama seperti ketika melihat dirinya dan Alana berdekatan.
"Enggak, Ma, buang jauh-jauh pikiran itu." Sudah, Cakra tidak mau membayangkan apa yang bakal terjadi jika dia menyukai gadis judes itu. Ngeri.
"Ya, terus kenapa kamu nyuruh Alana kerja di sini? Mama nggak setuju."
"Yah, Ma," Cakra merengek. "Bukan gitu. Emang Mama tega ngeliat Alana kerja jadi tukang cuci terus di rumah orang setiap hari? Bahkan waktu pulang sekolah, waktunya dia istirahat, Alana masih dikejar-kejar sama kerjaan. Mama tega?"
"Mama nggak mau bukan karna mama nolak bantu dia, Cakra. Mama cuma nggak mau Alana malah nganggap dirinya sendiri itu pembantu di sini, nanti. Mama nggak mau," tegas Mama, tetap pada pendiriannya.
Helaan nafas terdengar dari arah Cakra. Yang dikatakan sang mama memang ada benarnya, tapi 'kan,
"Alana juga setuju-setuju aja, Ma. Cakra udah ngomong sama dia, kok, tadi pagi."
"Sebenernya apa maksud kamu nyuruh Alana kerja di sini?" Kali ini Papa bertanya. Dan biasanya, jika Papa sudah maju, suasana jadi lebih baik.
Cakra merubah posisi duduknya agar lebih nyaman sebelum berbicara, "gini lho, Pa. 'Kan kalau Lana kerja--ralat! Bantu-bantu di sini, kerjaan dia pasti nggak bakal secapek biasanya. Paling apa, sih, kerja di sini juga. Nyapu, ngepel, nanti bisa Cakra ikut bantu. Niat Cakra itu cuma mau meringankan beban dia. Terus juga, Lana bisa bantuin Cakra jaga Adis kalau Mama ke kantor Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...