35!

3.4K 294 7
                                    


"Understand Me"

***

          Biasanya, jika sedang bersama Alana, Cakra paling enggan yang namanya berdiam diri. Biasanya, jika sedang bersama Alana, Cakra paling anti yang namanya cemberut. Tapi, kali ini ia memiliki alasan atas itu semua. Ia sedang marah pada gadis yang kini tengah mengobati lengannya tersebut. Sangat marah.

Tiba-tiba, Cakra menarik kapas yang dipegang Alana, bergerak mengobati dirinya sendiri, membuat Alana tercenung dan meremas-remas tangannya takut.

"Luka di muka lo ... biar gue aja," ucap Alana nyaris seperti bisikan.

"Gak perlu. Gue bisa nanganin semuanya sendiri," balas Cakra dingin.

Alana menunduk dalam. Ia paham betul apa yang Cakra maksud. Laki-laki itu menyindir dirinya.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Alana katakan sekarang, karena jujur ia sama syoknya.

Helaan nafas berat terdengar dari Cakra. Ia melempar kapas kotor di tangannya ke sembarang arah lalu memusatkan fokus pada Alana, memandang gadis itu kecewa.

"Lo nganggep gue apa, sih, Lan?"

Perlahan Alana mendongak, menatap kilatan mata Cakra yang membuat hatinya perih.

"Gue nggak tau kapan tepatnya Si Bangsat itu ngelakuin itu sama lo, gue minta maaf juga karena gue nggak bisa ngelindungin lo, gak ada di samping lo, tapi gue khawatir. Gue khawatir waktu pagi-pagi liat lo luka. Saking khawatirnya sampe gue nggak bisa fokus sama semuanya. Kenapa lo nggak mau cerita sama gue, sih, Lan?"

"..."

Cakra mengangguk lemah. "Mungkin emang gue yang salah. Mungkin ini balasan karena gue juga nggak ngejelasin sama lo soal Dira. Gue minta maaf lagi. Maaf juga kalo lo muak sama kata maaf gue yang terlalu sering."

"Gue cuma nggak mau bikin lo kepikiran."

Lagi, keheningan melingkupi keduanya. Cakra memperhatikan kedua tangannya yang perlahan terkepal. Sebenarnya ia belum puas memukul bajingan bernama Abimanyu itu, tapi karena tiba-tiba Farel datang melerai, Cakra terpaksa mundur, terlebih tenaganya juga mulai terkuras sebab musuhnya adalah lawan yang tangguh.

"Gue obatin, ya, muka lo."

Cakra tidak menjawab. Ia membiarkan Alana melakukan sesukanya. Kemarahannya pun lamat-lamat lenyap. Egois rasanya jika ia harus kecewa padahal kebungkaman Alana juga mungkin karena dirinya.

"Sakit, ya?"

Alana menghentikan kegiatannya mengobati sudut bibir Cakra, menatap laki-laki di sebelahnya, bingung.

Dan seakan mengerti, Cakra menambahkan, "waktu lo ngalamin masa kelam itu tapi gue nggak ada di samping lo."

Tatapan mereka lalu bertemu, Cakra mencoba menyelami Alana melalui bola mata. Ada kesedihan mendalam di sana. Membuat hati Cakra seakan tertusuk belati.

"Pipi lo, apa gara-gara dia?" Hati-hati, Cakra menyentuh perban di pipi Alana, mengusapnya lembut. "Lo pasti ketakutan 'kan waktu itu?"

Bola mata Alana berkaca-kaca, namun tak ada satu tetes pun air yang mengalir.

Jemari Cakra lalu bergerak menuju telinga Alana yang masih nampak bekas luka. Memandang sendu gadis itu. "Maaf karena nggak bisa jagain lo, Sayang."

Alana menunduk seraya meremas buku-buku jari. Saat ini, Cakra ingin sekali memeluk Alana. Tapi, karena ini adalah tempat umum, Cakra cukup tau diri. Apalagi ada Hafiz di dalam rumah.

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang