"Fire"***
"Teh Lana!"
Senyum Alana mengembang penuh ketika melihat Pelangi berlari menghampiri dengan senyum merekah, ia lantas merentangkan tangan, menerima pelukan hangat Pelangi yang baru bisa Alana rasakan lagi semenjak pindah.
"Teh Lana pindah, kok, nggak bilang aku dulu, sih. Jahat. Bilang sama Ibu juga enggak."
Alana mengusap sayang sisi wajah Pelangi yang cemberut. "Maaf, Pelangi, waktu itu teteh buru-buru, terus pas mau pamit, kaliannya nggak ada."
Mendengar penjelasan Alana, Pelangi nampak mengerti. Raut wajahnya berubah menjadi tersenyum. "Ya, udah, deh, nggak apa-apa, aku maafin," ucapnya, membuat Alana lega. "Sekarang Ibu ada di rumah, kok, mau ketemu?"
"Iya, ada yang mau teteh omongin."
Pelangi dan Alana berjalan beriringan menuju gubuk sambil berpegangan tangan. Lalu, ketika sampai, Alana langsung memeluk Bu Maryam seperti ibunya sendiri.
"Teteh pindah nggak bilang-bilang, nih," goda Bu Maryam. Alana tersenyum tak enak. "Ayo, sini masuk. Ibu baru bikin bakwan."
"Duh, jadi ngerepotin."
Bu Maryam menggeleng seraya mengusap sayang kepala Alana. Kemudian berjalan ke ujung ruangan yang terdapat alat-alat masak, mengambil sepiring bakwan serta teko air yang sudah usang. Alana terus memperhatikan gerak-gerik Bu Maryam yang sangat keibuan. Mengingatkannya pada almarhumah Ibu Fatimah. Mereka sama-sama penyayang dan sabar di tengah kemelut yang terjadi.
"Teh, bakwan Ibu enak, lho!" Celetuk Pelangi, membuat Alana tersadar dari lamunan. Ia terkekeh tanpa menyahut.
"Nih, cobain dulu."
Yang ditunggu telah datang, Mata Alana berbinar melihat bakwan yang dari baunya sudah menggugah selera. "Aku yakin, ini, enak, Bu," pujinya tanpa sadar.
Bu Maryam tertawa. "Ya, udah, ayo dimakan."
Alana dan Pelangi mengambil satu bakwan, hendak langsung dimakan, namun Bu Maryam mengingatkan mereka untuk baca doa terlebih dahulu. Biar makanan yang masuk perut berkah, katanya.
"Ibu emang terbaik!" girang Pelangi. Bu Maryam dan Alana pun tersenyum geli mendengarnya.
"Oh, ya, Bu, ada yang mau aku omongin," kata Alana setelah bakwannya habis.
"Apa, Teh?"
"Hm ... Ibu sama Pelangi mau nggak tinggal bareng sama aku di kontrakan?"
Bu Maryam tidak langsung menjawab, nampak berpikir. Berneda dengan Pelangi yang sepertinya antusias namun tidak berbicara karena takut diomeli sang ibu lantaran tidak sopan.
"Gimana, Bu?" tanya Alana lagi, harap-harap cemas.
"Ibu nggak mau ngerepotin Teteh."
Alana kontan menggeleng. "Bu, nggak ngerepotin sama sekali, kok. Malah kalau aku tinggal sendiri di sana, rasanya sepi. Terus, jujur ... aku juga takut."
Raut wajah Bu Maryam berubah khawatir. "Takut kenapa, Teh? Ada yang gangguin Teteh emangnya?"
"Akhir-akhir ini adiknya Sam gangguin aku terus, Bu."
Bu Maryam nampak terkejut hingga menutup mulut dengan sebelah tangan. Beliau memang mengetahui segalanya karena ia adalah tetangga Alana sejak membuat rumah gubuk itu.
"Tapi, ibu bener-bener nggak mau ngerepotin kamu. Atau enggak ibu bantu bayar uang—"
"Bu," Alana dengan cepat memotong kalimat, "aku 'kan sekarang kerja di tempat temen aku, gajinya masih cukup, kok, buat bayar kontrakan dan buat makan, Ibu nggak perlu khawatir. Iya 'kan, Pelangi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...