"Best Mistake"***
Alana perlahan membuka matanya setelah selesai melafalkan doa. Mengusap batu nisan di hadapannya dengan tatapan sendu, kemudian menyabuti rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Hingga ketika sebuah lengan kecil terjulur ikut membantu, Alana pun tersadar bahwa ia tidak sendirian datang ke sini.
"Teteh kangen Ibu, ya?" Hafiz bertanya, tanpa memandang sang kakak. "Hafiz juga kangen Ibu, tapi Hafiz aja nggak tau muka Ibu Fatimah kayak gimana," imbuhnya.
Alana terhenyak beberapa saat, ia tersenyum tipis. "Teteh lupa ngasih liat foto Ibu ke kamu, ya. Nanti mau ke rumah teteh dulu nggak?"
"Teteh punya foto Ibu?" Bola mata bocah laki-laki di samping Alana berbinar, membuat Alana senang karena setidaknya adiknya itu tidak bersedih lagi.
Gadis dengan kerudung biru itu mengangguk. "Iya, punya."
"Yeay, Hafiz bisa liat muka Ibu!"
Mendengar suara Hafiz yang berisik, Alana lantas membekap mulut adiknya. Memperingati bahwa mereka harus bersikap sopan di tempat sunyi ini.
"Maaf, Hafiz lupa. Hehe."
Alana geleng kepala, mencium sekilas pipi Hafiz yang hari ini nampak tampan dengan baju koko dongker pemberian Bunda Aisyah tanggal satu kemarin. Setelah itu, perhatian Alana kembali pada makam sang bunda yang sudah terbaring tenang di bawah sana. Nafasnya terhembus pelan, menetralkan sesak. Sesak yang selalu datang saat Alana kemari.
Seandainya, seandainya saja Alana bisa memutar waktu, ia ingin kembali ke waktu di mana ibunya masih ada. Masih berada di sisinya. Memberi kehangatan juga memberi arahan terbaiknya. Pasti, hidupnya tidak akan seperti ini. Pasti, keluarganya masih selengkap dulu. Pasti, Hafiz tidak harus berada di panti asuhan. Namun, kehendak Tuhan tidak dapat terbantahkan. Tuhan menyayangi ibunya, itu sebabnya Tuhan lebih dulu memanggil sang bunda untuk pulang.
Tapi, entah kenapa, terkadang Alana masih belum bisa menerima kenyataan ini meski sudah sekuat mungkin mengubur rasa tak relanya. Alana masih belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergian satu-satunya wanita yang paling keluarganya cintai. Satu-satunya wanita yang berpotensi menjaga kelangsungan hidup anak-anaknya. Satu-satunya wanita yang membuat Alana tenang meski hidup sendiri di kota sebesar ini.
Alana merindukan Ibu.
Sangat rindu.
"Bu, sekali-kali mampir ke mimpi Lana. Lana mau cerita banyak hal." Suara Alana terdengar serak karena lagi dan lagi harus menahan sesak di dada.
Sesak itu menyiksa. Lebih baik ia menangis, namun ia tidak bisa mengeluarkan air mata itu barang setetes. Tidak lagi.
Tiba-tiba, Alana merasakan tarikan di lengan bajunya. Hafiz. "Teteh, Hafiz mau beli gulali di pintu masuk tadi, ya? Pake duit Hafiz, kok."
"Jangan makan manis terus," omel Alana. "Nanti giginya bolong, mau?"
Hafiz menggeleng, kemudian menunduk seraya memilin-milin kancing baju terbawah. Wajahnya sendu. Melihat itu, Alana pun jadi tidak tega. "Ya, udah. Sana. Tapi, janji abis ini nggak boleh keseringan makan manis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorably (Complete)
Teen FictionSeumur hidupnya, Cakra tidak pernah merasa seberengsek ini. Mempermainkan perasaan, mengumbar janji, serta memberikan harapan palsu pada dua orang perempuan. Cakra menghargai perempuan. Untuk yang satu itu benar. Tapi, soal Cakra adalah laki-laki b...