Chapter 1
"Agissi." Petikan merdu pada sebuah alat bernama gayageum yang berasal dari jemari lentik nan putih itu seketika terhenti ketika suara salah seorang dayang miliknya mengalun sopan menembus iringan musiknya.
Kelopak mata yang terhias bulu lentik bergerak pelan menampakkan sepasang iris foxy kelam bening yang tersorot tegas dibalik bayang hangat yang beberapa menit lalu tersembunyi.
Keindahan yang terpancar murni sontak membuat para dayang maupun pengawal yang berada di tempat tersebut tersenyum takjub, menggeleng pelan mengherankan setiap sudut diri yang terpahat sempurna.
Seulas senyum hangat terulas di bibir sebelum mendentangkan suara tenor halusnya. "Ada apa?" Mendengar suara junjungannya sang dayang membungkukkan tubuhnya hormat, kemudian memulai penyampaian pesan yang telah diamanahkan kepada dirinya.
"Kangin Jeonha mengundang anda untuk bertandang ke Balai Istana sekarang, Agissi." Anggukan kepala menyertai bungkukan tubuh meminta ijin undur diri.
Dayang itu melangkah mundur mencapai pintu utama. Menggeser pelan lantas berlalu dari sana. Seusai kepergian dayangnya, ia mengerling menatap gayageum yang masih berada di pangkuan dengan kening berkerut penuh tanya.
"Apakah telah terjadi sesuatu? Hingga Ayahanda memintaku untuk menemuinya di Balai Istana?" bisiknya sambil membenahi ujung dalryongpo seusai meletakkan gayageum disamping jendela paviliun miliknya.
Tangan kanan yang hendak menggeser pintu tertahan sejenak, roman wajahnya masih tampak berpikir. Kemudian menghela nafas lalu menggelengkan kepala. Suara pintu geser mengambil alih posisi tubuhnya.
Beberapa dayang dan pengawal dengan sigap merunduk hormat menerima kehadirannya. Mereka bergegas berbaris rapi di belakang tubuh si Pangeran, melangkah beriringan di sepanjang wilayah Kerajaan.
*Rose*
"Tidakkah keputusan ini terlalu mendadak, Jeonha?" Suara lemah yang sarat akan keresahan hati itu mengulas satu tarikan maklum di bibir Baginda Raja. Tangannya beralih meremas tangan sang Ratu yang tergeletak pasrah di lengan kursi. Berusaha mengusap keresahan hati sang dambatan hati.
"Tenanglah. Kau tahu dengan jelas tabiat Pangeran bungsu kita, heum." Tanpa sadar ia berdecak tidak terima, melupakan tata krama sejenak. Sang Ratu menghentak genggaman tangan Rajanya.
"Kau berucap seolah Pangeran Sungmin telah kehilangan haknya dalam merealisasikan pendapatnya. Tidak semua keputusan orang tua baik bagi putranya, Lee Kangin." Deru nafas bersahutan, tersenggal menahan buncahan emosi.
Wanita paruh baya pemilik lesung pipi yang masih tampak cantik itu rupanya tidak terima dengan keputusan sang Raja yang terlihat mementingkan diri sendiri tanpa menatap lebih dulu pendapat sang putra.
Meski ia tahu bagaimana tabiat Putra bungsu mereka. Tetap saja, dirinya tidak bisa terus berdiam diri mendapati sang putra bagaikan boneka Kerajaan. Selalu mengikuti petuah Ayahandanya tanpa memikirkan keinginan hatinya.
Kangin menghela nafas panjang, jemari tegas miliknya tertaut diantara jemari Ratunya. "Hanya sebuah keputusan yang belum mutlak, Leeteuk-ah. Bukankah aku memanggil Sungmin kemari."
Leeteuk mengalihkan pandang, menatap pintu mahoni berukirkan naga serta bunga sakura di setiap sisi dan lingkaran badannya. Pintu utama Balai Istana. "Aku mohon untuk tidak menekannya. Kau tahu, perjodohan adalah hal yang cukup mengganggu pikirannya." Pinta Leeteuk lemah.
Sorot mata yang tampak tegas, kini merapuh dengan kesenduan naluri seorang ibu yang selalu menginginkan kebahagiaan putranya dan tak menginginkan secuilpun pijakan kesedihan di balik punggung putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE
Fiksi SejarahKetika sebuah permusuhan mengombak kacau di antara mereka. Keraguan hati mendominasi perasaan lain, tapi semakin mereka menekan perasaan tersebut, semakin kuat perasaan itu mengobrak-abrik pertahanan mereka. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan un...