Akhir-akhir ini aku sering melihatnya berada disekitarku. Bukan karena ia mengikuti kemana langkahku pergi, melainkan disetiap moment keberadaan ku ia selalu ada.
Pertemuan pertama. Aku bertemu dengan seorang gadis di salah satu supermarket sederhana dekat apartement ku. Saat itu aku tak terlalu memperhatikan penampilannya, hanya tak sengaja saling bertukar pandang lalu pergi menuju arah yang berlawanan tanpa meninggalkan kesan apa pun.
Pertemuan kedua. Hari itu malam pertama salju turun, aku berjalan sendiri dengan pakaian serba tebal, bersedekap merasakan dingin yang menusuk sampai ke tulang-tulang rusuk ku. Tanpa sengaja pandangan ku berhenti pada sosok gadis yang tengah membelai sayang seekor kucing dipinggir jalan dekat halte bis. Lama aku mengamatinya dari jauh tanpa bisa melihat bagaimana bentuk wajahnya. Ketika bis datang saat itu pula aku bisa melihat bagaimana wajah itu menatap sendu meninggalkan hewan tersebut dengan sebuah payung menutupi seluruh tubuh sang kucing. Aku melihatnya pergi semakin jauh dengan posisi masih memperhatikan kucing yang bahkan sama sekali tak menggubris kehadirannya. Bibir ku tak bisa menahan untuk senyum. Ketika bis itu tak lagi terlihat olehku, aku menghampiri Kucing tersebut dan mengamatinya. Ntah apa yang merasuki ku, aku memungutnya, membawanya pulang bersama payung merah pemberian si gadis.
Pertemuan ketiga. Saat musim semi. Aku melihat seorang pria tengah bersimpuh memegang kaki seorang pria tua sambil menangis meminta maaf agar ia tidak dipecat di sebuah kafe. Jika tebakanku benar mereka adalah seorang pelayan dan manager, tapi aku tak bisa menebak apa permasalahan mereka. Si pelayan tampak sangat lemah, aku membenci pria sejenis dirinya, terlihat seperti banci dimataku. Sedangkan pria tua menariknya keluar. Pengunjung kafe ini tak banyak, bisa dihitung jari termasuk diriku. Kami hanya menonton tak berniat ikut campur. Dan saat pria tua itu berhasil mendorong kasar pelayannya, saat itu pula seorang gadis menghampirinya berdiri sambil menenangkan pria itu. Gadis itu masuk ke kafe membawa pria itu bersamanya.
"Dia sudah saya pecat" teriaknya bengis
Gadis itu hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi apa pun. Sedikitpun tak gentar atau takut. Tanpa menghiraukan kicauan pria tua ia masuk membawa pria tersebut.
"Kami pengunjung disini, bukan pengemis. Layani kami!" perintahnya tetap dengan ekspresi yang sama.
Berbeda dengan si pria lemah, sesekali melirik gadis di hadapannya untuk segera pergi. Namun tak digubris, hanya dibalas dengan tatapan menusuk hingga membuat si pria lemah menunduk takut.
Pandanganku belum beranjak, menanti adegan selanjutnya, begitu juga dengan pengunjung lainnya, tentu saja mencuri-curi pandang. Saat pria tua itu akan beranjak pergi meninggalkan mereka, si gadis kembali bersuara.
"Layani kami pak tua!" perintahnya dengan suara datar. "Aku akan membayarmu lebih jika kau yang layani kami sendiri" lanjutnya tak kalah membuat pengunjung lainnya terbelalak, tapi tidak denganku. Aku menikmati pertunjukan langka tersebut.
Manager mengepal kuat buku jarinya menahan geram. "Aku bukan pelayan" jelasnya penuh penekanan
"Aku tidak perduli" ucapnya sambil menyerahkan catatan pesanannya. "Bawakan!" sang manager tak kunjung menerima catatan yang disodorkannya. "Aku akan membayarnya 5 kali lipat, jadi layani kami"
Manager tertawa mengejek. "Baiklah, kita lihat seberapa kaya kau bisa membayarku tinggi gadis miskin" tantangnya masih diselimuti amarah
Gadis itu menampakkan smirk nya, menatap tajam. "Jangan banyak bicara. Pastikan hidangan kami dimasak oleh mu sendiri"
"Kau..." pria itu masih bisa mengontrol emosinya. Dengan langkah lebar berapi-api ia menerima tantangan gadis itu
"Keren" gumam temanku yang juga masih sama-sama menyaksikan.
5 menit kemudian pria tua datang bersama seorang pelayan membawakan pesanan mereka. Ketika suapan pertama ia langsung memuntahkan makanannya mengatakan terlalu asin, begitu juga dengan minumannya karena terlalu asam dan menyemburkannya tepat di wajah sang manager. Mata ku terbelalak menyaksikan tindakan brutalnya, begitu juga dengan yang lainnya. Merasa harga dirinya terluka dan ia tak bisa lagi menahan emosi, pria tersebut melayangkan sebuah tamparan membuat beberapa wanita terpekik histeris. Namun, bukannya suara tamparan yang terdengar melainkan tangan gadis itu menahan kuat tangan besarnya.
Yang membuatku tak habis pikir, ekspresinya tetap datar dan tenang, berbeda dengan aura yang dibawanya membuat orang-orang yang berada di sekitarnya dingin tak bersahabat dan bergidik ngeri. Yang membuatku semakin tak percaya, ia memelintir tangan pria itu lalu menendang nya hingga tersungkur, kemudian melempar kasar beberapa lembar uang tepat di wajahnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia pergi diikuti si pria lemah. Sebelum pergi pandangan kami sempat bertemu sekilas. Tatapan datar yang terasa mati.
Se peninggalan nya suasana hening dan menegangkan. Baru kali ini aku melihat adegan brutal yang dilakukan oleh seorang gadis. Terkesan dan terpesona.
Pertemuan keempat. Suatu hari aku baru menyelesaikan sebuah perkelahian kecil, lebih tepatnya dihajar oleh bosku karena memutuskan keluar dari geng. Sebagai sangsinya aku mendapat denda. Namun, karena aku tak menyanggupi, sebagai gantinya tubuhku dipukuli hingga babak belur dan aku hanya menerima tanpa melakukan perlawanan sesuai perjanjian saat pertama kali masuk dalam geng tersebut.
Aku berjalan tertatit-tatih memegangi perutku, mengusap darah di pelipis mata dan bibirku, menahan sakit. Aku tidak pergi ke rumah sakit maupun pulang, melainkan pergi ke salah satu taman kota yang jarang dikunjungi orang-orang pada jam 11 malam. Aku ingin menikmati musim gugur sendirian, musim favorite ku.
Sesuai perkiraan, hanya segelintir orang berada disini dan mulai beranjak pergi. Aku duduk di salah satu bangku panjang yang hanya diduduki seorang gadis tengah menengadah memandangi langit malam. Aku tak begitu memperhatikannya. Rasa lelah bercampur nyeri menguasai diri ku, ku sandarkan tubuh ku lalu menutup mataku berusaha menahan apa yang ku rasakan. Tentu saja hanya menutup mata tak berniat tidur.
Selang beberapa menit kurasakan pergerakan di sampingku. Mata ku terbuka, menoleh pada gadis yang duduk di sebelah ku. Bukannya melihat sosoknya melainkan sebuah sapu tangan tergeletak disana.
"Hey, sapu tanganmu" aku mencoba mengingatkannya. Ia berhenti melangkah.
"Pakailah, kau lebih membutuhkan" ucapnya tanpa menoleh
"Aku tidak butuh" tolakku
"Ya sudah, buang saja. Aku juga tak butuh"
Aku menghela nafas. "Terimakasih" ucapku akhirnya
Ia menoleh dan pandangan kami bertemu. Tatapannya dan ekspresinya datar. Aku mencoba mengingat-ingat merasa pernah bertemu, namun ingatan tersebut tak kunjung ku dapatkan. Tanpa mengucapkan kata lagi gadis itu pergi meninggalkanku. Aku pun mengambil sapu tangan tersebut dan menggunakannya pada wajahku.
Pertemuan kelima. Aku mendatangi sebuah tempat dimana para musisi jalanan menyanyikan lagu-lagu mereka. Setelah 2 grup band menampilkan karya mereka, kini giliran seorang gadis menyanyikan sebuah lagu mellow dengan sebuah gitar sebagai satu-satunya alat musik yang mengiringi liriknya.
Penampilannya menarik dengan celana pendek sepaha dan sebagian kepalanya ditutupi topi jaket yang sedang ia gunakan, tapi aku masih bisa melihat rambut panjangnya yang diikat, perawakan sedang, manis, dan cantik. Meskipun sederhana tak ada seorang pun yang mau berpaling menikmati penampilannya. Ia memiliki sesuatu yang bisa membuat orang di sekitarnya tertarik. Bahkan suara dan permainan gitarnya mampu membuat para penonton meleleh dan terbawa suasana.
Aku memperhatikanya terus menerus hingga tanpa sadar pandangan kami bertemu, saat itulah aku melihat sepasang bola mata itu. Tatapannya, ekspresinya, seketika moment pertemuan singkat kami berjalan dalam kepala ku. Aku mengingatnya. Si gadis sapu tangan, si gadis kafe, si gadis payung merah, si gadis supermarket, dan si gadis penyanyi. Mereka gadis yang sama. Bodohnya aku baru mengingat kelima gadis itu sekarang. Jika ingatanku berputar mengingat saat-saat itu, maka bisa dipastikan selama 4 musim ini sudah 5 kali kami dipertemukan.
Aku tersenyum sendiri mengingat setiap moment dimana saat aku ada ia juga ada. Aneh. Aku tak berniat mengenalnya. Bukan tidak, tapi belum. Jika suatu hari seutas benang merah mempertemukan kami kembali saat itulah aku yakin takdir sedang bicara dan aku hanya menunggu kesempatan itu datang kembali.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me One Last Shot
Random[Completed] Gadis itu. Dingin, keras kepala, penyendiri & pendiam. Kepribadian yang menyimpan banyak cerita yang akhirnya menggiring ku menjadi partner nya. Partner dalam penuntasan dendam yang sama. Seiring berjalannya waktu, aku semakin tertarik...