3

1.1K 77 2
                                        

Meskipun apartement ini memiliki 15 ruangan setiap lantainya aku tak pernah bertemu mereka sekali pun, siapa yang ada disana, wujudnya, namanya, jenis kelaminnya, pekerjaannya, asalnya, aku tak tau dan aku tak mau tau. Bukan karena sombong atau tak pandai bergaul, ku pikir tak ada gunanya terlibat dalam kehidupan orang lain walaupun sekedar mengetahui nama mereka. Itu berlaku pada setiap orang, dulunya. Tak terkecuali dia tetanggaku, gadis tanpa nama yang tinggal di apartement 75.

Mungkin orang menyebutku pemilih, aku tak perduli sebab meski aku tak ingin terlibat dalam kehidupan siapa-siapa, ada satu hak paten yang dimiliki setiap manusia. Seperti fakta aku dipertemukan dengan gadis tanpa nama tersebut, walau aku tak ingin. Namun, jika itu harus terjadi, terjadilah. Dan aku sering menyebutnya 'Takdir'.

Hampir 10 jam aku berada di balkon, duduk santai menikmati secangkir kopi dan semangkuk mie instan. Aku menunggu pintu bernomorkan 75 itu terbuka dan menampilkan sosok yang ku tunggu. Tapi, hingga saat ini tak terjadi apa pun. Pintu itu tak bergerak sama sekali. Apa yang sedang dilakukannya? Apa dia ada di dalam atau tidak? Aku tidak tau. Aku tak bisa mengintip atau menguping keadaan di dalam, apartement ini dibangun kedap suara dan tingkat keamanannya terjamin.

Aku tak bisa sembarangan mengambil langkah. Ck, aku sudah gila, apa yang ku lakukan? Sudah jelas ia menolakku, tetap saja aku melakukan hal konyol ini. Bibir ku naik ke atas, mentertawakan kelakuan konyol ku. Senja juga sudah mulai menampakkan diri. Padahal sepagi mungkin aku sudah berada disini, menunggunya. Waktunya penantian ku hari ini berakhir.

Aku mendesah kecewa, tak ada hasil. Padahal aku hanya ingin melihat dan menyapanya saja. Sebaiknya kembali ke kamar lalu tidur, daripada melakukan hal tak wajar ini. Memikirkannya saja membuat perasaan semakin kacau.

Aku berdiri, berjalan lunglai menuju pintu bernomor 74. Sebelum masuk ku lirik sebentar pintu tersebut, tak ada tanda-tanda pintu itu terbuka. Sayang sekali, aku berharap lebih kali ini.

"Kau sedang apa?" seseorang mengejutkanku

Aku berbalik menemukan seorang pria cantik tepat di hadapanku. Refleks tubuh ku bergeser menjaga jarak. Aku risih berdekatan dengan makhluk sepertinya, gayanya, suaranya, aku bisa menebak jenis pria seperti apa dia.

"Aku sedang menikmati waktu santai" jawab ku asal, tetap menjaga suara ku agar terdengar bersahabat

"Lalu kenapa kau melihat ke pintu itu? Apa kau penguntit?" tuduh nya

Aku tertawa kecil. "Hanya melihat bukan mengintip"

Matanya menyipit, jari telunjuknya menunjuk hidungku, mengamati ku dari atas ke bawah. Aku mulai risih dan jengah dengan caranya memandangiku. "Bohong" sergah nya

Aku membuang nafas kesal. "Apa wajah ku tampak seperti kriminal?"

"Jaman sekarang wajah kriminal itu bak malaikat, sulit dibedakan"

Bola mataku berputar ke segala arah. "Terserah"

Ia mengamati ku lagi, menilaiku hingga puas. Aku membiarkannya saja. "Jangan coba-coba mengambil kesempatan menikmati tubuh ku apalagi tertarik pada ku. Aku bisa baca pikiran kotor mulai merasuki mu sekarang"

Ia melotot kaget. "Kau gila? Kau kira aku murahan?"

"Ya mungkin. Laki-laki seperti mu rata-rata memang seperti itu kan?" ucap ku acuh

Kedua bola matanya semakin lebar. "Kau...kau kira aku...laki-laki?"

Dahiku mengernyit heran. Apa aku salah menilai orang? Penampilannya biasa tidak manly tidak juga seperti wanita, model rambutnya tak jauh berbeda denganku khas lelaki, ada beberapa tato di leher dan tangannya, suara nya juga manly. Apa dia jenis laki-laki bottom hingga tak mau disebut lelaki? Aku tertawa sendiri membayangkan jika perkiraan ku benar. Jangan salah sangka dengan pikiran mainstream ku, aku pernah membaca komik tentang gay.

Give Me One Last ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang