KOALISI BI IYAM DAN MANG SADAN

116 4 4
                                    

Tidak ada aturan untuk menjalankan sebuah dendam. Dan saat kau menjadi korban yang terancam, barulah kau akanvsadar betapa aturan itu harus ditetapkan sebelum muncul rasa dendam.
(Ujang, saat tak punya rasa dendam tapi cukup merasa terancam)

Aku tidak menyangka kalau urusanku dengan Bi Iyam tentang kambing Emak akan berbuntut panjang. Bi Iyam dikabarkan mengadu ke Emak. Aku tidak tahu kapan dan dimana. Mungkin saat ia minjam perabotan atau saat minta bumbu dapur. Namun, aku sangat kenal karakter emak yang tak mudah diadu domba. Karena itu aku baru tahu hal itu berhari kemudian. Tapi yang membuatku merasa sulit adalah urusan yang terjadi beberapa hari setelah itu dengan Mang Sadan. Masalah menjadi semakin runyam ketika aku mendapat kabar bahwa Mang Sadan juga melakukan hal serupa. Ia menghadap Emak dan mengadu kepadanya atas perlakuan yang tidak etis, menurutnya, yang sudah aku lakukan padanya saat ia sedang mancing ikan di pinggir kali.

Ini adalah pertanda tidak baik. Dan urusannya pasti panjang.

"Sedang terjadi persekongkolan." Kataku kepada Kambing Emak suatu sore yang panas. "Urusanku dengan Bi Iyam, kamu sudah terlibat. Kamu tidak bisa mengelak. Dan untuk itu, aku minta kamu bantu aku menyelesaikan urusanku dengan Mang Sadan." Kambing Emak tidak menjawab. Ia sibuk dengan rumput yang aku tumpuk de depannya.

"Mereka mengadu ke Emak, itu bukan masalah besar. Tapi, saat aku tahu ada koalisi untuk memusuhi aku antara Bi Iyam dan Mang Sadan, ini adalah urusan yang perlu ditanggapi dengan serius." Aku tahu kambing emak sebenarnya sedang menyimak.

Dua jam berlalu dan aku masih berdua bersama kambing emak. Aku belum menemukan ide bagaimana menghadapi kasus ini. Dan sepertinya kambing emak juga sedang memikirkan hal yang sama. Tiba-tiba kambing emak menatapku, seperti hendak mengatakan sesuatu. Beberapa detik ia terdiam. Mulutnyapun berhenti mengunyah. Aku yakin ia mendapatkan ide baru. Namun, keterbatasan bahasa yang ia miliki membuatku sadar diri. Aku belum mengerti bahasa kambing. Lalu ia kembali menunduk dan makan rumput. Sepertinya ia menyadari apavyang aku sadari.

Tiga hari yang lalu, aku mendapati Mang Sadan dan Bi Iyam sedang berbincang di dekat roda rumput Mang Sapir. Aku agak risih jika kemudian Mang Sapir terpengaruh dan bergabung dengan mereka. Mang Sapir banyak tahu tentang aku, terutama urusanku menyangkut Mariam. Jika Mang Sadan dan Bi Iyam menjadikan Mariam sebagai tameng mereka untuk meluruhkan aku, sudahlah.

Aku mengendap di bawah pohon rambutan. Cukup lama. Hingga akahirnya mereka bubar tanpa bertemu lebih dulu dengan Mang Sapir. Namun, hal itu tidak bisa membuatku merasa lega. Koalisi ini sudah membentuk kekuatan baru yang besar. Aku harus berhati-hati. Dan agendaku adalah berusaha bagaimana supaya Mang Sapir tetap sebagai Mang Sapir yang independen, netral dan tidak terpengaruh oleh Bi Iyam dan Mang Sadan.

Kambing Emak mengembik. Aku kaget dan menatap matanya. Sama seperti sebelumnya, aku tidak mengerti maksudnya.

Esok harinya, aku berangkat kerja lebih pagi. Aku lakukan itu untuk menghindari pertemuan dengan dua orang yang tengah melakukan koalisi, Mang Sadan dan Bi Iyam. Namun, aku harus berputar lebih dulu untuk bertemu dengan Mariam dan berkata aku masih cinta sampai hari ini.

Ingin sekali aku punya waktu untuk berbincang dengan Mariam tentang masalah yang aku hadapi. Masalah yang akan menjadi bumbu akan kisan cinta aku dengannya. Namun aku sadar betul bahwa aku butuh waktu untuk itu. Apalagi situasi sudah semakin rumit sekarang. Aku harus lebih jeli untuk menghindari segala kemungkinan buru yang mungkin terjadi, termasuk urusan hubungan aku dengan Mariam.






DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang