SAAT ANDINIE BERTANYA TENTANG AKU

124 4 1
                                    

"Bahagia itu adalah keadaan saat sadar penuh kau tidak sedang bersedih. Gunakan ungkapan yang sama untuk kata Sehat, Lapar dan Cinta."
(Ujang, tengah malam sepulang dari pengajian)

Kalian sudah tahu bagaimana pedihnya akhir cerita cintaku dengan Andinie. Jangan pernah coba kalian jalani cinta seperti itu. Bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, itu pelajaran pertama.

Pelajaran kedua adalah jangan terlalu lebar membuka keyakinan bahwa saat kamu mencintai, dia merasakan hal serupa dengan kamu. Tiba-tiba saja kamu yakin bahwa saat kamu cinta setengah mati, dia merasakan hal yang sama. Saat kebahagiaan yang kamu rasakan adalah juga kebahagiaan bagi dia. Demikian pula halnya dengan kesedihan kamu. Itu bohong! Dan sangat pahit terasa saat kamu menyadarinya. Jadi, pesan aku cinta itu harus sederhana. Apa adanya. Ordinary Love, gitu!

Sekarang aku berjanji untuk tidak mengulang kebodohan serupa. Kegagalan cintaku pada Andinie akan aku kubur dalam-dalam. Kalaupun ingat kembali, akan aku kenang sebagai candaan saja. Tidak lebih dari itu.

Sekarang, aku sedang duduk di belakang meja kamarku yang dulu yang waktu masih sekolah adalah meja belajar. Aku biasa menghabiskan waktu berjam-jam membuka-buka buku pelajaran saat sekolah dan novel-novel kesukaanku. Padahal, sebenarnya yang mendominasi pikiranku adalah Andinie. Lucu tapi mengerikan. Mengerikan tapi ingin tertawa. Ingin tertawa tapi (sekarang) menyebalkan. Sekarang dan dulu, lain sekali.

Aku merasa perlu untuk menceritakan bagaimana kisahku dengan Andinie.

Andinie adalah murid baru saat aku masih duduk di kelas 2 SMA. Dia anak pindahan yang aku tidak peduli darimana dan kenapa. Orang berbisik-bisik bahwa dia dikeluarkan dari sekolahnya karena kasus dan masuk ke sekolah ini juga dengan kasus. Namun aku sangat tidak peduli.

Andinie menjelma menjadi bintang saat pelajaran kesenian. Saat itulah aku mulai memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ia dipanggil Bu Aida untuk menampilkan keahlain yang dimiliki dan dia ternyata bernyanyi begitu indah. Aku merinding dan tidak bisa perpaling. Dangdut! Aliran musik kesukaan aku dan leluhurku. Saat namanya dipanggil aku biasa saja. Namun ketika ia tampil di depan kelas, aku merasa ada puluhan lampu warna warni menyorot langkahnya. Lampu itu berkedip kedip mengikuti irama lagunya. Aku melihat badannya meliuk-liuk. Aku berkedip dan mencoba memalingkan wajah ke samping. Namun kembali lagi. Aku ingin sekali memastikan aku sedang tidak bermimpi dengan menampar pipiku atau mencubit tanganku seperti di sinetron-sinetron penuh kebancian itu. Tapi tidak aku lakukan karena aku sedang sadar penuh bahwa aku tidak sedang bermimpi. Dan sejak saat itulah, nama Andinie memiliki tempat dalam hidupku. Hanya saja, hari itu aku belum jatuh cinta.

Sejak hari itu pula nama Andinie menjadi terkenal di sekolah. Ia menjelma menjadi artis. Ada pesta, ada Andinie. Ada panggung dan hiburan, Andinie pasti tampil. Ada keramaian, nama Andinie pasti dipanggil-panggil. Sejak saat itu pula aku merasakan ada perasaan aneh yang sangat mengganggu. Hingga suatu hari (dan terus terjadi di hari-hari berikutnya), di halte tempat pemberhentian bis itu aku selalu menunggu orang ini.

Andinie tidak cantik. Itu kata Ratnani, anak tetangga yang ditakdirkan satu sekolah dan satu kelas denganku. Anak yang kurang disukai teman-teman karena selalu berkata kasar dan kelakuannya juga tidak santun. Anak ini akrab sekali dengan permusuhan. Dan dari semua itulah aku simpulkan bahwa apa yang ia katakan tentang Andinie faktanya adalah sebaliknya. Ya, dan sepertinya semua temanku setuju.

Andinie sebenarnya cantik, sangat cantik. Dan sepertinya terlalu cantik untuk hadir di kelasku. Badannya tinggi langsing, tapi bukan kurus. Kulitnya cukup putih untuk ukuran kami, orang-orang kampung. Rambutnya lurus panjang yang kadang-kadang diikat sekenanya. Kakak kelasku bilang dia seperti gadis Thailand. Entahlah, aku tidak bisa membandingkan karena terlalu jauh untuk bisa pergi ke sana.

Andinie tidak kasar seperti Ratnani, tapi juga tidak santun seperti Aisyah. Nama gadis ini akan dijelaskan diakhir cerita. Andinie bersikap biasa saja. Senang bercanda dan marah-marah. Suka pinjam uang dan lupa bayar jajanan. Seolah tidak ada yang istimewa. Namun, Andinie adalah artis sekolah yang seperti artis-artis di tivi dimana segalanya menjadi istimewa.

Banyak anak laki-laki menggodanya saat istirahat di kantin atau saat pulang sekolah. Tapi, Andinie anak perempuan perkasa yang tangguh. Ia melawan saat digoda dan berteriak mengejar dengan wajah sangar saat diganggu. Walaupun terkenal ia tetap tidak sombong. Mungkin karena ia tidak begitu pintar. Apalagi saat hasil ulangan matematika dibagikan dan nilainya tidak bagus, nama Andinie seolah ditelan bumi hari itu. Tapi keesokan harinya, ia akan kembali terkenal. Dia tidak malu untuk bertanya tentang ketidakmengertiannya tentang hasil ulangannya kepadaku. Ia bertanya ini itu dan dengan penuh rasa bingung aku menjawab sekenanya. Dan sepertinya ia semakin bingung setelah aku jelaskan karena aku sendiri juga tidak mengerti apa yang dia tanyakan.

Ayahnya, Haji Samsi, adalah seorang petani musiman. Emak kenal baik karena saat belanja di pasar nama itu begitu melekat di orang-orang yang berkepentingan dengan sayur mayur. Namun, Emak tidak tahu kalau ia memiliki anak gadis seusia dengan aku. Haji Samsi dikenal sebagai orang kaya yang pintar. Konon, rumahnya ada di setiap kampung. Kata Bi Iyam, istrinya juga banyak. Kata mang sapir, orang kaya begini tidak memelihara kambing. Mang Sadan tidak tahu apa-apa, dan memang tidak ingin tahu apa-apa.

Aku pernah memuji di depannya bahwa suaranya bagus. Dia tidak menjawab dan malah bertanya balik kenapa nilai matematikaku bisa bagus. Padahal, saat itu aku memujinya dengan jantung yang berdebar. Aku tersenyum aneh karena percakapan tidak sesuai rencana.

Esok harinya aku berencana untuk bisa pulang bareng, jalan menuju angkot bareng atau setidaknya keluar kelas bareng. Tapi gagal karena ia pulang bareng teman-temannya dan banyakan. Sepertinya ada rencana manggung atau apa karena obrolannya sangat seru dan lama.

Keesokan harinya aku masih sibuk dengan agenda yang sama, jalan bareng Andinie. Tapi sayang, pelajaran terakhir adalah fisika yang membuatku begitu tersiksa dan tidak bergairah melakukan apa-apa. Sepertinya semuanya mengalami hal serupa, termasuk Andinie.

Hari berikutnya aku semakin bersemangat. Aku sudah punya strategi seandainya ia masih dikerumuni teman dekatnya. Atau, pelajaran terakhir yang membosankan. Bahkan, jika hujan sekalipun, aku sudah siap dengan strategi. Untuk yang ini, malah aku sudah mengontak di Badrun, untuk memata-matai Andinie. Badrun orang yang tidak banyak omong, asalkan kita janjikan sesuatu, ia pasti akan menjadi orang yang sangat penurut. Tapi, sesaat sebelum bel pulang berbunyi, datang seseorang dari TU yang menyuruh Andinie datang ke ruang BK. Dan ini artinya gagal lagi.

Hari selanjutnya, aku semakin bergairah untuk mengatur strategi. Bahkan aku membawa payung jika ternyata hari itu turun hujan. Segalanya sudah matang aku rencanakan dan pertemuan itu, perjalanan itu, obrolan itu akan tercatat manis di langit. Kisah ini akan tertulis abadi di awan dan teranyam dalam rintik hujan. Namun, KBM belum dimulai aku sudah lemas saat tahu Andinie tidak masuk hari ini.

Dan, esok harinya, saat segalanya sudah tidak aku pedulikan, tidak ada persiapan kalimat, payung, basa-basi, pakaian, langkah cerita dan tema obrolan, tiba-tiba si Ratnani menghampiri dan berkata bahwa kemaren ia baru pulang dari rumah Andinie. Satu hal yang membuat aku bersemangat adalah ketika Ratnani bilang Andinie bertanya tentang aku. Andinie ingat aku.

Dan esok harinya adalah hari ketiga Andinie tidak masuk sekolah. Dan aku masih bahagia karena Andinie bertanya tentang aku kepada Ratnani, kemaren.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang