CEMBURU

19 2 0
                                    

"Cemburu itu seperti badai tsunami yang akan menyeret segala yang bertengger di pinggir pantai, menggusurnya jauh ke darat, dibenturkannya kepala kamu ke batu dan batang pohon. Lalu, kau dapati dirimu dicampakan begitu saja, sampai kamu sadar bahwa kamu sudah mati."
(Ujang, suatu pagi di kantin sekolah)

Aku tidak pandai mendefinisikan perasaan. Cinta, rindu, benci, lapar, haus, lelah, iri, cemburu dan segala perasaan yang hadir semenjak aku kenal perempuan yang aku suka, semua terasa hambar dan abu-abu. Saat dibilang cinta sesaat kemudian aku benci. Saat kusebut benci disaat yang sama aku rindu. Saat aku lapar tiba-tiba menjadi kenyang saat ingat Andinie. Tapi, kadang-kadang aku semakin lapar saat tahu Andinie berjalan dengan orang lain, walau baru tiga menit aku selesai makan. Dan, banyak.

Wati bilang aku sedang cemburu. Emak bilang aku sedang puber. Kambing emak tidak bisa mengartikan perasaanku. Dia sesekali menatap ragu ke mataku seperti curiga hanya akan diberi rumput sisa kemaren.

Mungkin salahku juga yang terlalu membiarkan Andinie berkeliaran tanpa pendamping. Padahal, sekawanan srigala terus memantau gerak-geriknya. Dan si Arya adalah srigala paling perkasa dengan mata yang mengancam.

"Apa yang kamu tunggu?" Tanya Wati hampir tiap hari saat mendapatiku sedang termenung ga jelas. "Tulislah puisi. Andinie suka puisi. Rangkai bunga, dia juga suka itu. Bawakan coklat. Atau apa saja. Jangan diam seperti gardu listrik."

Aku tatap mata Wati. Dia nampak membahas apapun tentang Andinie. Ia sering menulis puisi dan memintakuvmenyerahkannya ke Andinie. "Bilang saja dari kamu,"

Semakin aku ditanya, semakin malas aku untuk menjawab.

Aku raih kertas di tangan Wati. Segurat kalimat cantik aku dapatkan. Namun aku tidak peduli. Itu urusan ahli bahasa yang gemar menghambur-hambur kata disitu. Bagiku semua adalah urusan yang tak perlu diterjemahkan.

Sekarang, saat aku sedang kalap, maka aku bertanya kalap ini karena apa, bahkan aku juga bertanya arti dari kata kalap itu apa. Dan setelah aku tahu penyebabnya, aku bisa mengartikan tanpa harus membuka kamus. Sekarang aku sedang cemburu. Aku tahu arti yang aku rasakan dan tak perlu pula bertanya pada emak, apalagi kambing emak.

Setelah aku pikir-pikir, ternyata ini bukan yang pertama aku merasa cemburu. Kalau cemburu berarti perasaan tak enak karena dinomorduakan, aku pernah mengalami. 

Otakku terasa begitu panas. Tidak bisa berpikir jernih. Dadaku terus bergemuruh sementara badanku badanku terasa sangat lemas, tak kuasa menghadapi keanehan reaksi yang tidak jelas itu. Di depanku segelas jus alpulat nampak tinggal setengah walau baru tiba setengah menit yang lalu. Tidak ada orang lain, yang artinya setengah isinya telah pindah ke perutku. Pikiranku melayang. Masih terbayang bagaimana Andinie nampak begitu bahagia saat berjalan bersama si Arya, ketua OSIS yang terkenal ganteng itu. Wajahnya mirip Lee Min Ho, kata si Watini. Kataku tidak sama sekali. Mana mungkin aku bisa tahu dia mirip dia, sementara aku belum pernah lihat seperti apa Lee Min Ho itu.

Aku harus berpikir keras, sekeras-kerasnya. Tapi gagal. Aku tidak bisa fokus apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku ingin sekali melemparkan gelas jus itu. Ke mukanya. Namun jelas tidak bisa dan tak mungkin aku lakukan. Jus belum aku bayar dan gelasnya pun tak bisa aku ganti.

"Kamu cemburu, Jang?" Wati berceloteh menyindir kelakuanku.

"Halah, buat apa aku cemburu?" Aku menjawab tanpa berpikir. Persis seperti saat aku menjawab soal ulangan biologi yang harus mendeskripsikan proses pernafasan.

"Dia begitu emang dia harus begitu," lanjutku makin tidak jelas.

Wati beranjak menuju kasir kantin. "Jus kamu aku bayarin."

Aku tidak mengiyakan tidak pula menolak.

"Aku punya rahasia tentang si Andini yang tidak kamu ketahui." Ucapan Wati membuyarkan kekacauan yang ada dalam pikiranku. Ada berita baguskah? Apa maksud kamu Wati? Bahwa sebenarnya si Andini menyimpan perasaan padaku? Ia menunggu aku bersikap jantan di depan semua orang termasuk di depan si Arya ganteng yang ketua OSIS itu? Apa?

"Ada tiga berita penting tentang kamu dan Andini." Wati meraih sisa jus di depanku dan menyeruputnya pelan dengan mata tajam mengarah padaku.

"Ceritakan saja,"

"Kamu akan baik-baik saja, kan?"

Aku mencium aroma tidak sedap. Aku menarik napas dalam-dalam. Semoga bukan kabar buruk.

"Andini cukup mengagumimu, ketulusan kamu, kejujuran kamu. Dia sangat antusias saat aku atau siapa saja yang menyebut nama kamu di depannya. Ini harus kamu ketahui. Dia juga beberapa kali bercerita bahwa cara kamu menjelaskan pelajaran kepadanya cukup menenangkan."

"Dia bilang begitu?"

"Ya."

" Dia mengerti? Megerti yang aku jelaskan?"

"Dia tidak bilang. Dia hanya suka saja. Dia mengulang-ulang kalimat yang katanya dari kamu."

"Apa katanya?"

"Katanya saat kamu ajarkan pelajaran matematik dan kamu nampak kebingungan, terus kamu bilang kalau kita tidak usah mengerti semua. Cukup bagian dasarnya saja. Sama seperti saat kita memahami hidup,"

"Dia suka kalimat itu?"

"Ya, dan dia juga suka cara kamu mencari alasan untuk menutupi bahwa kamu sedang bingung dan tidak mengerti." Wati kembali menarik gelas jus, memainkan sedotan dan mendorongnya ke arahku. "Tapi...."

"Tapi apa?"

"Kamu jangan GR dulu. Jangan sakit hati pula. Andinie itu misterius. Dia kadang labil. Yang suka sama dia bukan cuma kamu. Jadi kamu harus atur strategi juga."

"Aku tahu itu,"

"Kamu menang karena sering banyak waktu bertemu karena sekelas."

"Lalu?"

"Jangan bikin dia bosen. Kamu harus sering up date diri kamu di depannya."

"Sekarang dia lagi deket sama si Arya. Aku mati kutu."

"Bersaing dalam apapun dengan dia, kamu pasti kalah. Dia ganteng, pintar, ketua OSIS lagi, terkenal. Setahu aku dia ponakan camat. Matilah kamu!"

"Aku? Sebelum janur berkibar, akan tak akan mundur!"

"Boleh. Tapi saranku kamu harus mundur sesaat."

"Si Arya itu playboy. Andinie ga akan suka tipe seperti itu. Lagian pergaulannya tinggi. Si Andinie juga ga akan suka."

"Aku harus apa?"

"Kamu harus jadi diri kamu."

"Aku cemburu,"

"Maksud kamu?"

Mmmhhh......bodo,"

Kami diam memandang lapang depan kantin yang sudah mulai kosong sekosong pikiranku tentang jalan keluar menghapus rasa cemburu.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang