"SIAPA BILANG EMAK SAKIT?"

99 3 1
                                    

"Rumah adalah tempat yang membuat kamu bisa yakin memulai untuk mencari barang-barang yang ketinggalan beserta mereka yang akan menjaganya saat semua itu terjadi."
(Ujang, saat tidak di rumah dan bingung mau kemana)

Aku pulang lebih cepat. Emak sakit. Si Komar yang bilang melalui satpam. Aku bergegas bereskan alat kerjaku dan berpamitan kepada bos. Ketika ia bertanya kenapa dan aku jawab karena emak sakit, ia terus bertanya sampai kapan dan aku jawab bagaimana Tuhan saja, ia marah. Aku tak peduli dan lekas pergi.

Sepanjang jalan aku tak henti memikirkan Emak. Belum pernah aku melihat emak sakit. Emak justru paling peka dengan orang sakit, keluarga, tetangga bahkan siapa saja yang dikabarkan sakit, emak pasti datang menjenguk. Bahkan, kehebatan emak yang tidak pernah sakit membuat beberapa tetangga mengira emak orang sakti. Mereka mendatangi emak sekedar ingin tahu rahasia kesehatan emak. Bahkan ada warga kampung sebelah yang berkunjung ke rumah dengan membawa segelas air putih untuk dibacakan doa doa oleh Emak. Katanya anaknya sakit. Dan kabar yang aku terima beberapa hari berikutnya adalah anak itu pulih seratus persen. Aku percaya.

Perjananan dari tempat kerja ke rumah biasanya tak kurang dari empatpuluh menit. Tapi sejak aku kenal Mariam dan jatuh cinta kepadanya, perjalanan bertambah lima belas menit karena aku harus berbelok ke bukit untuk sekedar melihat rumah gadis itu dari sana. Rumah Mariam berjarak 2 kilometer, tapi aku bisa melihat dengan jelas rumahnya. Bahkan sedang apa Mariam saat itu aku bisa melihatnya dengan jelas. Setiap pagi, kecuali hari libur, aku akan melihat rumah Mariam.

Aku berhenti dari langkah cepatku. Kenapa si Komar? Kenapa dia yang m3mberi kabar tentang Emak yang sakit. Apa tidak ada orang lain di rumah? Si Komar rumahnya jauh. Apakah Emak harus pergi ke rumahnya untuk pergi menemuiku dan mengabarkan bahwa dirinya sakit? Bukankan lebih mudah menyuruh Mang Sapir atau Bi Iyam?

Atau, sepertinya hari ini Si Komar sedang bermain ke rumahku untuk memberikan ikan pepes pesanan Emak. Lalu ia mendapati Emak sedang tergeletak di bangku samping pintu. Maka dari itu, ia berlari ke sini dan mengabari hal itu. Waduh, celaka! Kasian sekali Emak. Aku mempercepat langkah.

Kenapa pula dengan Mang Sapir? Apakah ia tidak keliling mencari kambing hari ini? Apakah ia tidak menyapa Emak seperti biasanya? Atau mungkin Emak sudah tergeletak sejak aku berangkat sehingga Mang Sapir tidak tahu. Kenapa pula dengan Bi Iyam? Apakah pagi ini Bi Iyam punya cukup bumbu untuk memasak dan tidak lagi perlu masuk ke dapur Emak? Kenapa?

Aku semakin cepat. Bahkan, aku tidak sadar bahwa sebenarnya aku sudah berlari. Aku menengok ke sebelah kanan dan melihat bukit yang biasa aku jadikan tempat untuk meneropong rumah Mariam. Baiklah, walau dengan sangat cepat, akan aku lakukan.

Dua puluh menit berlalu. Keringat mulai bercucuran. Aku biarkan dan aku sangat haus. Pikiranku sudah tidak fokus. Membayangkan Emak berbaring di bangku dan tidak ada seorangpun di sana. Emak kehausan dan ingin meraih gelas di meja. Namun emak terlalu rapuh dan terjatuh. Emak pingsan.

Aku bayangkan orang-orang sudah berkerumun di depan pintu. Sementara di dalam sudah ada pak RT, pak RW dan beberapa aparat desa. Haji Somad sedang duduk di samping kepala Emak dan membisikkan doa doa. Aduh, Emak, maafkan Ujang!

Biasanya, saat pulang kerja, dari bawah pohon beringin ini aku berputar mengitari lapang yang sedikit berlumpur dan biasa dipakai anak-anak bermain bola sampai kotor sekotor-kotornya. Kali ini aku melintas lapang itu. Anak-anak yang sedang bermain bola bersorak. Mungkin kepadaku. Aku tak peduli. Bola datang menghampiriku dan aku tendang sekuat kakiku. Anak-anak semakin girang dikiranya aku akan ikut bermain.

Tinggal melintasi tiga belokan aku akan sampai. Jantungku berdebar. Emak, jangan tinggalkan Ujang. Ujang berjanji tidak akan bertingkah aneh lagi. Ujang tidak akan ganggu Bi Iyam dan jail lagi ke Mang Sadan.

Tiga orang ibu-ibu nampak saling berbisik saat aku lewat. Sepertinya mereka sedang membicarakan masa dapanku yang malang saat harus jalani hidup sendiri tanpa Emak. Di depan dua orang pemuda terdiam seperti mematung. Seorang dari mereka memanggil namaku. Aku tidak pedulikan. Aku harus pastikan Emak tidak apa-apa.

Tiba di halaman rumah, aku langsung menuju ruang tengah. Betapa terkejutnya aku saat mendapati isi rumah penuh dengan orang-orang. Namun, tak satupun dari mereka menunjukkan wajah sedih. Dan Emak, tepat berada di tengah mereka. Juga dengan wajah bahagia. Aku langsung ingat si Komar. Aku balikkan badan. Aku harus selesaikan urusanku dengan anak itu!

"Ujang, akhirnya kau tiba lebih awal. Semua Emak suruh jangan pulang sampai kamu pulang, dan kamu sudah pulang." Suara Emak menghentikan langkahku.

"Ternyata Emak sudah sehat." Jawabku pelan dan disambut dengan gelak tawa semua orang. Aku kembali ingat si Komar dan sepertinya ingin bunuh dia.

"Siapa bilang Emak sakit?" Aku berteriak. Tiba-tiba semua menjadi diam. Seisi rumah menjadi hening. Lima detik kemudian terdengan kambing Emak mengembik. Lalu semua tertawa lagi. Beberapa dari mereka menggandengku sambil membisikkan hal-hal yang tidak aku mengerti dan memang sepertinya tidak penting. Aku bingung.

Dalam keletihan kembali aku bertanya "Siapa bilang Emak sakit?"

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang