MENYAMBUT HUJAN PAGI ALA EMAK

101 3 0
                                    

"Sekolah adalah tempat dimana kamu bisa memilih mimpi
tanpa harus tertidur."
(Ujang, sebelum sekolah)

Bulan Oktober langit sering mendung tapi hujan seperti masih malu-malu walau kata Emak seharusnya dari bulan September ia harus sudah datang. Tapi hari ini kejadian langka itu terjadi. Pagi-pagi hujan turun, gerimis.

Emak tidak menyuruhku mandi. Emak seperti sudah tahu jawaban aku untuk perintah itu. Aku melangkah ke kamar mandi pelan dan berharap Emak bisa melihat ini. Sebuah perjuangan yang tidak remeh. Mandi pagi-pagi saat di luar masih hujan dan waktu berangkat sekolah tinggal sebentar lagi, adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Aku sangat berharap Emak berkata sudahlah, kalau kau tidak ingin, jangan memaksakan diri. Maka, aku akan berjingkrak merasakan kebahagiaan ini. Tapi, seperti kata pepatah (hasil modifikasi) kemalasan adalah sifat rajin yang tertunda. Aku tidak boleh malas. Apalagi saat sadar di sana ada Andinie.

Pagi-pagi yang hujan biasanya membuat semua orang malas. Murid-murid, penjaga, satpan, petugas kebersihan dan mungkin juga ibu dan bapak guru serta kepala sekolah. Malas untuk bepergian. Ibu-ibu malas ke pasar, bapak-bapak malas bekerja, binatang-binatang: kucing, anjing, burung-burung semua nampak malas. Dan sepertinya Emak juga demikian. Hanya aku sepertinya yang tidak kebangetan malasnya. Aku berikrar akan pergi membelah hujan menuju sekolah.

Berbeda dengan sebelum masuk, saat keluar dari kamar mandi aku begitu bersemangat. Ingin sekali aku melihat Emak menengok rambut kelimisku. Lipatan handuk atau apa saja yang maknanya Emak tahu dan peduli bahwa aku sudah mandi pagi dan tidak harus disuruh Emak. Tapi, entah mengapa Emak masih tidak peduli.

Sambil bernyanyi merdu tapi pelan, aku melintas di bangku tempat Emak duduk. Benar saja Emak nampak tidak peduli. Aku bergegas ganti baju. Seragamku sudah bersih dan licin. Sesaat kemudian aku sudah siap berangkat. Emak masih duduk di bangku. Aku melai heran. Ada sesuatu dengan Emak. Segala yang aku lakukan dari tadi untuk mencuri perhatian Emak, gagal. Aku mendekat untuk meraih dan mencium tangan Emak.

Emak masih saja diam mematung. Aku mulai curiga jangan jangan ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Emak. Aku berjongkok di depan bangku tempat duduk Emak. Mendongkakkan kepala untuk melihat wajah Emak. Namun Emak masih tidak bereaksi.

Aku raih tangan Emak dan aku cium dalam sekali. Namun Emak masih diam mematung. Aku simpan kembali tangan Emak perlahan. Emak melirik dengan ujung mata. Wajahnya masih dingin tanpa ekspresi. Lalu matanya kembali mengarah ke luar jndela. Aku heran dan berdiri. Detak jantungku mulai berdebar. Ada apa dengan Emak?

Tanpa melepaskan pandangan, aku garuk-garuk kepala. Aku bingung. Aku mundur sangat pelan, membuka pintu keluar namun mata masih melihat Emak yang terus terduduk mematung.

"Emak? Ujang berangkat sekolah ya, Mak."

Emak diam. Perlahan menoleh ke arahku. Lalu senyum menyeringai. Giginya  nampak. Aku sedikit ketakutan.

"Emak, are you OK?" Aku panik.

"Ujang, kamu hebat." Jawab Emak sambil berdiri. Mengacungkan kedua jempolnya lalu turun dari bangku dan bergegas ke kamar mandi.

Aku kembali masuk tanpa menutup pintu dan mengejar Emak ke kamar mandi. "Emak, ari Emak teh kenapa? Ujang kaget!" Aku sedikit berteriak.

"Emak is fine. Fine fine aja. Cepet pergi nanti kesiangan kamu."

Aku melangkah lesu keluar.

Itulah Emak. Kadang-kadang Emak itu aneh.

Aku bergegas keluar sambil melirik jam di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 6.24. Tidak akan kesiangan asal aku tidak menunggu Andinie dulu di halte.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang