MENEMUKAN KAMU KEMBALI

872 30 13
                                    

"Kenangan bukanlah kumpulan gambar dan catatan yang bisu dan kaku. Kenangan adalah kamu, yang akan terus hidup dalam langkahku."
(Ujang, di ujung rasa kecewa)

Bulan Juli selalu panas. Matahari seolah dua kali lebih dekat dari biasanya. Dan aku kembali ingat kamu. Ingat pertemuan pertama enam tahun lalu, Hari Rabu tanggal 13 Juli tepat disaat matahari sangat tidak bersahabat.

Aku mencatat baik-baik tanggal dan hari itu sebagai hari kebaikan dan keberuntungan. Aku juga yakin dia melakukan hal yang sama. Jelas aku tuliskan bahwa sejak saat itu aku merasakan indahnya jatuh cinta. Aku jadi sangat sering mengingatnya. Menulis puisi untuknya. Memutar lagu kesukaannya. Atau sekedar diam berlama-lama membayangkan sebuah taman luas yang indah dan hanya dihuni oleh kami berdua. Tiga tahun kami berkenalan dan aku benar-benar menjalani masa terindah dalam hidupku. Aku selalu yakin Andinie pun demikian. Keramahannya, keakrabannya, membuatku benar-benar merasa nyaman. Hingga kabar terbaru muncul bahwa Andinie harus pindah kerja tepat disaat aku dan keluargaku harus pindah rumah. Jadi, inilah momen perpisahan itu. Kamipun berpisah, resmi di sini, di halte ini.

Selepas hari itu aku benar-benar hilang kontak. Satu yang membuatku yakin adalah bahwa perasaan kami sama dan sebuah keyakinan bahwa kami akan kembali bertemu suatu hariñ . Aku merasakan kesedihan yang Andini rasakan. Dan, setiap kebahagiaan Andinie adalah juga kebahagiaanku. Enam tahun. Ya, enam tahun, tepat hari ini, Rabu 13 Juli. Dan, benar saja semua itu akan terjadi hari ini.

Kesibukan kami telah membuat dunia ini seolah melebar. Aku digusur ke barat, sementara kekasihku ditarik ke timur. Dan sekarang aku akan kembali mengulangi pertemuan itu di sini, persis di tempat pertemuanku yang pertama. Oo, indahnya hidup. Dan aku yakin ini akan menjadi salah satu episode terindah dalam untaian kisah romantisku dengan Andinie. Aku akan menceritakan berulang-ulang kisah ini kepada orang-orang yang haus kisah romantis.

Sebenarnya janjian kami pukul 4 sore tapi aku sengaja datang jauh lebih awal. Mungkin terlalu awal. Sekarang pukul 9 pagi. Selain untuk memastikan agar benar-benar siap, aku juga harus benar-benar hafal lokasi ini. Tiga tahun sejak perpisahan itu, bukanlah waktu yang sempit untuk berubah. Apalagi tempat ini adalah tempat umum, bisa berubah menjadi lebih nyaman atau sangat mungkin juga malah sebaliknya.

Kami berpisah di tempat yang sangat tidak spesial. Sebuah halte bus dengan sebuah telefon umum boks berwarna biru yang sudah usang dan ditinggalkan penggunanya. Dua hari sebelum kami berpisah telfon itu masih ada. Namun, saat perpisahan, ia sudah lenyap. Aku hafal karena sekali keadaan itu karena menjadi topik cerita yang terbangun ketika itu.

"Kalau aku jadi jalan ini, kamu jadi apanya, Din?" Aku membuka percakapan dengan tema rayuan setelah berjam-jam ngobrol gak jelas.

"Sudah ah, aku sudah malas mikir."

"Milih saja, bebas." timpal aku, ringan.

"Aku mau jadi telefon umum itu." Jawabnya malas.

"Nah, gitu dong." Aku bahagia walau jawabannya tidak seperti yang kuinginkan.

"Aku membayangkan kamu menjadi telefon di sana dan aku menjadi boksnya. Kamu aman bersamaku."

Andinie melihatku lucu seperti menyimpan sebuah kekonyolan, lalu tertawa puas sambil memegang perut.

"Kenapa?" Tanya aku.

"Lihat, telefon umum itu sudah kosong, pesawatnya sudah hilang, ada yang mencuri." Andini tertawa puas dan cukup membuatku malu. Namun, kejadian itulah yang membuatku senyum saat ini. Telefon umum itu juga adalah bagian penting dalam cerita romantisku.

Aku bergegas menuju tempat itu. Masih segar dalam ingatan, bagaimana halte itu, telefon umum itu, orang-orang yang berlalu lalang saat jam sibuk, dan penuh sesak oleh orang berteduh saat hujan. Bahkan, aku hafal di sudut kiri adalah tempat istirahat tukang sol sepatu menjelang duhur, lengkap dengan rokok yang baunya menyengat.

Sepeda motor tua ini akan menjadi saksi pertemuan aku dengan Andini yang lama menghilang. Aku berjanji, setelah pertemuan ini aku akan ganti motor ini dengan yang lebih gagah. Mungkin juga mobil, walau tentunya disesuaikan dengan budget bulananku.

Aku sebenarnya sudah lupa-lupa ingat wajah Andini. Namun aku yakin kulitnya akan semakin putih. Giginya yang berbaris rapi akan semakin bersih, lesung pipinya, rambutnya yang selalu dibiarkan terurai, akan tetap demikian. Berubah pasti, tapi aku yakin Andinie akan tampil jauh lebih dewasa. Lebih bersih dan terpelihara. Oh, Andinie, betapa aku tak sabar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Aku mondar-mandir di sekitar halte. Sudah tidak terhitung berapa putaran. Pikiranku sedikit terganggu antara menyiapkan coklat atau bunga. Seperti apa dia sekarang? Bagaimana kalau dia sedang diet dan haram baginya makan coklat? Tapi, kalau diberi bunga aku masih punya pengalaman pahit dan pasti Andini juga masih ingat. Ketika itu aku memberikan setangkai bunga kepadanya. Tiba-tiba ia melotot dan berkata "Kamu petik bunga Ros di depan kelas aku? Jahat kamu! Tega!"

Aku memegang kepala seakan pukulan tasnya yang mendarat tepat di keningku masih terasa.

Bau keringat sudah tidak terasa. Aku tak peduli hingga aku tak sadar hal itu ada pada diriku. Percuma juga aku pedulikan. Aku kembali melihat jam tangan. Pukul 2.37. Berarti coklat saja.

Aku berjalan menuju sepeda motor yang diparkir tepat di samping telefon umum. Menyala dan langsung meluncur menuju toko terdekat. Masuk dan langsung mencari rak dimana cokat berada.

Seorang anak kecil nampak sedang jongkok. Memilih mainan yang berada tepat di rak bawah tempat penyimpanan coklat. Anak itu sangat lucu. Kulitnya putih dan rambut lembut kemerahan seperti turunan bule. Bersama Andinie, aku akan punya keturunan yang jauh lebih lucu. Dan, banyak.

"De, mau yang mana? Sini diambilin  sama Om..." Aku sok akrab. Entahlah, aku sangat berbunga hari ini.

Tiba-tiba anak itu berdiri dan berlari. Aku abaikan sambil tersenyum geli. Puas dengan pilihan, akupun berdiri dan bergegas menuju kasir. Dan aku kembali melihat anak tadi berdiri disamping seorang perempuan muda yang bisa aku pastikan ibunya. Badannya tinggi, memakai jeans sangat pas dengan postur tubuhnya. Jaket berbulu sangat ideal. Rambutnya terurai tidak rapih.

Anak itu jinjit ingin melihat apa yang terjadi di atas meja kasir. Namun tubuh kecilnya tak memungkinkan. Aku mendekat sambil mencari cara agar aku bisa melihat wajah ibu muda itu. Seperti sudah memiliki firasat ia menoleh ke belakang sambil memegang kepala anaknya. Sesaat bertatapan dan tersenyum. Aku membalasnya ramah.

Selesai bertransaksi aku kembali ke motor dan meluncur kembali menuju halte bis dimana kami janjian. Waktu sudah menunjukan pukul 3.25 yang artinya pertemuan itu hanya menunggu tiga puluh lima menit tersisa.

Aku duduk di bangku. Sendiri. Dan aku harap tidak ada yang akan mengganggu pertemuan ini. Sepuluh menit berselang sebuah mobil mendekat. Memberi lampu sen dan berhenti tepat disamping halte tempatku duduk.

Seorang perempuan muda menurunkan kaca mobil. Menatapku dan menurunkan kacamata hitamnya. Aku kenal. Dia tersenyum. Dialah perempuan yang tadi tersenyum di kasir. Ake ingat, aku kenal lagi.

"Andinie?"

Lalu kenapa? Anak itu? Laki-laki dibalik setir itu?

"Ujang!"

Aku sudah tidak mampu merasakan apa-apa. Lemas. Tak mampu berpikir, baik jernih maupun kotor. Aku setengah bangun setengah tidur. Dia turun dan mendekat.

"Sini, Boy, ikut bunda, ketemu Om," Andinie mengajak anak itu turun dari mobil. "Mas ini, Ujang, yang sering aku ceritakan itu,"

Perasaanku semakin tidak jelas.

"Yuk, dimana kita ngobrolnya? Rumah kamu dekat sini, kan?"

Aku sudah hancur.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang