SAAT KAMBING EMAK BICARA

131 4 4
                                    

"Cemburu itu seperti tsunami yang siap mencabik kehidupan kamu. Kamu didorong, diadu, diaduk, lalu ditarik kencang untuk kemudian dihempas dan ditinggal dalam lelah, atau mungkin berbentuk mayat. Mereka yang selamat adalah yang bisa bicara dengan ombak, seperti aku dan emak."
(Ujang, saat terbakar cemburu)

Semenjak kambing dijual Emak ke Mang Sapir dengan harga yang tidak sesuai, aku mulai merasa banyak kehilangan. Aku tidak punya teman bicara, kawan bermain, sahabat yang selalu aku perjuangan dan yang lebih menyakitkan adalah penyesalan yang membuat aku terus merasa termakan perasaan. Aku makan hati.

Diam-diam merindukan kambing Emak. Bening matanya, merdu embikannya, dan bau badannya yang khas. Pagi tiba aku rindu teriakannya saat lapar yang langsung membuatku turun dan menyapa selamat pagi sambil menumpukkan rumput di depannya. Siang datang aku rindu saat melihatnya duduk berlipat kaki dengan mulut terus mengunyah. Matanya terus memandangiku seakan bertanya bagaimana sekolahmu, Boy? Ceritakan kisah cintamu hari ini. Dan aku pasti menemuinya saat sore. Mengajaknya mengobrol. Aku tahu ia mengerti semua ceritaku, hanya saja ia tidak tahu cara menggerakan lidah dan gerahamnya sehingga hanya embikkan yang keluar. Aku cukup mengerti bahasanya.

Dan saat libur adalah saat terhebat dimana aku bisa mengajak dia berenang di sungai. Orang bilang aku sedang memandikan kambing, aku bilang kami sedang berbagi kebahagiaan, dengan cara bermain air bersama.

Tapi kini semua tinggal cerita. Aku jelas butuh waktu untuk bisa berkata bahwa kehidupan normalku sudah kembali. Tanpa kambing Emak, aku menderita. Transaksi itu seolah sudah menjual segalanya. Kemaren, perasaanku terasa biasa saja. Bahkan sesaat  sebelum kambing terjual, aku baik-baik saja. Tapi, kini, segalanya baru terasa. Kehadiran Kambing Emak dalam hidupku begitu berarti.

Mungkin aku akan sedikit terobati seandainya Emak juga melakukannya dengan bahagia. Andai Emak menjual kambing itu dengan senang hati. Tapi sepertinya tidak. Ada sesuatu yang mendorong Emak melakukan semua itu dalam keterpaksaan. Ada alasan yang tidak bisa aku mengerti kenapa Emak menjual kambing itu padahal dia sendiri enggan melakukannya. Ini bukan Emak. Dan aku melihat kesedihan juga di wajah Emak.

Konon, binatang piaraan itu akan merasakan apa yang dirasakan majikannya. Saat yang punya bahagia, demikian pula piaraannya. Saat yang punya berduka, perasaan ituvpula yang dirasakan sang piaraan. Aku bisa membayangkan perasaan Kambing Emak setelah dipindah-tangankan dengan melihat keadaan Emak saat ini. Kalau Emak dan aku nampak sedih, artinya perasaan itu pula yang dirasakan oleh Kambing Emak.

"Kalau harganya tidak Emak suka, kenapa dijual juga?" Tanyaku suatu sore.

Emak tidak menjawab. Aku tahu terlalu banyak jawaban yang bergulung di benak Emak. Emak yang sedang butuh uang, Mang Sapir yang sedang butuh Kambing, Kambing yang sedang butuh penyegaran, dan aku yang entah sedang butuh apa. Sebenarnya aku ingin bilang, Emak, sudahlah. Banyak cara Tuhan saat Dia berencana memberi kebahagiaan.

"Mungkin, inilah cara Tuhan ketika Dia berencana untuk membuat kita segera memiliki kambing yang baru." Aku bicara sekenanya.

Emak melirik ke arahku dengan raut wajah tak jelas. Lalu ia berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu belakang. Dibukanya pintu dengan sangat pelan. Aku menatapnya penuh keengganan. Walau perlahan ia terus mendorong pintu hingga terbuka lebar dan aku bisa melihat semua yang ada di baliknya. Sebuah pot bunga yang hampir tertutup daun pohon kuping gajah, pagar bambu yang sudah sedikit miring dan beberapa anak ayam. Namun yang membuat mata kami terhenti adalah kandang kambing yang masih berdiri megah. Tiang-tiang kayu dan papan bawah yang masih menyisakan basah dengan rerumputan yang masih terselip di sela-selanya. Aku menarik nafas dalam. Bagaimanapun juga, kambing emak sudah menjadi bagian penting dalam ruang waktu yang aku dan emak miliki.

Aku berdiri dan mendekat ke pintu dimana emak berdiri.

"Kandang ini akan membuat kita sakit jika terus dibiarkan begini." Aku memulai percakapan yang hampa. "Ada dua pilihan Mak, kita isi dengan kambing yang baru atau kandangnya diganti dengan yang baru. Dan bisa diisi dengan selain kambing." Lanjutku. Emak masih diam. Melihatku perlahan dengan raut yang kosong.

Emak membalikan badan. Memegang bahuku sesaat lalu berjalan dengan pelan menuju bangku dan duduk seperti bingung. Aku mengikutinya dan duduk tepat di sampingnya. Sesaat kami terdiam.

Kami nampak seperti ikan paus dan remoranya.

Lalu Emak bercerita panjang tentang bahasa Kambing. Emak bilang kalau binatang, apapun itu, tidak berbicara seperti kita. Ia tidak akan pernah mampu berkata-kata dalam bahasa yang digunakan manusia. Tidak akan pernah. Gerak tubuhnya, atau apapun itu. Bahasa dia adalah perasaan kita. Apa yang ia katakan itulah yang kita rasakan. Itulah satu-satunya bahasa yang ia gunakan. Berbicara dengan mereka sebenarnya adalah berbicara dengan diri kita, dengan hati dan perasaan kita.

"Kata hati kita begini sekarang, itulah keadaan saat Kambing Emak bicara." Lanjut Emak menutup percakapan. Aku diam. Emak juga. Mata kami terpaku pada kandang yang sudah kosong. Di luar sana adalah samuderanya, dan kami adalah Paus dan Remoranya.

Tiba-tiba terdengar suara mengembik. Berkali dan berkali. Aku terperanjat, Emak juga. Aku berdiri. Begitu juga Emak. Dan sesaat kemudian lewatlah di depan rumah kami Mang Sapir diikuti oleh Kambing yang bukan lagi punya Emak. Dia nampak bahagia. Sedikit melirik ke pintu rumah kami. Langkah mereka nampak sangat bahagia, Mang Sapir dan begitu pula sang kambing. Aku cemburu. Emak juga.

Tapi, aku adalah Remora dan Emak adalah Pausnya. Kami bisa bicara dengan ombak di samudera walau dia seganas perasaan ini.

"Emak, kenapa kambing nampak bahagia bersama Mang Sapir?"

Emak nampak berpikir keras. Aku juga. Dan sepertinya, kambing itu juga melakukan hal yang sama.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang