KAMBING EMAK

311 12 9
                                    

"Tengoklah alam sekitarmu. Sebutkan satu-dua saja benda yang kau temukan dan ajaklah ia bicara sampai kau yakin bahwa sebenarnya, saat itu, dan juga seterusnya, kamu tidak selalu sendiri."
(Ujang, pada suatu pagi di bawah pohon)

Akhirnya kambing itu terduduk lemas dan tak peduli. Aku membungkuk memegang lutut. Perjuangan terberat hari ini berakhir sudah, menaklukkan kambing emak.
Sejak tersiar kabar kambing Emak hilang, aku tidak lantas berburuk sangka pada pencuri seperti yang lain. Aku curiga kambing itu berhasil menemukan jalan keluar kandang dan pergi tanpa tujuan yang jelas. Kambing memang begitu.

"Sekali lagi kau pergi tanpa pesan, aku antar kau ke jagal!" Aku kesal.

Kambing itu diam tak peduli. Memalingkan wajah dan terus menghindar dari mataku.

Aku diam begitu juga dengan kambing emak. Aku sangat lelah dan aku yakin kambing emak juga. Tapi, tiba- tiba aku sadar dan binguung, langkah apa selanjutnya? Namun kambing emak tidak demikian. Ia berdiri.

Seakan tak peduli dengan seruan dan amarahku, ia melangkah menuju pagar. Aku mengikutinya dengan mataku. Dia berhenti di bawah pohon rambutan. Lalu mengembik. Aku yakin itulah cara kambing mengekspresikan kekesalan akan apa yang tengah terjadi. Sepertinya ia juga bingung harus apa.

"Ujang, Kau apakan lagi kambing Emak?" Seorang Ibu setengah berteriak keluar dari pagar kebun.

Ternyata Bi Iyam, tetangga Emak yang paling rajin bertamu untuk hal-hal yang tidak jelas. Paling sering beralasan bingung nuggu suami, selainnya adalah minta bumbu dan sekalian pinjam perabotan yang namanya sulit aku sebut.

Emak bilang perabotan itu tidak akan kembali kalau tidak diambil sendiri ke rumahnya. Akulah pahlawan emak disaat saat demikian.

"Bibi boleh tanya kambing emak, diapain sama Ujang." Aku menjawab kesal.

"Mana bisa bibi bicara sama kambing. Kamu teh mikir atuh, Ujang!"

"Bibi, sekarang Ujang tanya, Bibi apakan kambing Emak? Kenapa kambing emak ada di dekat pagar kebun bibi. Ayo ngaku saja! Jangan paksa Ujang nanya kambing. Bibi ini gemana, udah perabotan pinjam dari emak, sekarang kambing emak Bibi gangggu pula. Sudahlah Bi, Ujang pusing. Ujang mau pulang saja. Sekarang kambing emak, bibi yang urus."

Bi Iyam nampak bingung. Mulutnya seperti menahan amarah. Bibirnya gemetar seperti gunung menahan gempa hendak meletus. Aku menatap tajam semuanya. Dan ketika tangannya mulai terkepal, aku mulai sadar akan kejadian selanjutnya.

Aku balik badan dan berlari. Bi Iyam aku tinggalkan. Dan ia benar-benar sedang meletus!!!

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang