KEMBALI KE ANDINIE

63 3 1
                                    

"Tidak semua yang misterius itu menarik untuk dipecahkan. Jadi anggap saja semua yang misterius itu tidak menarik, maka kau akan menjadi tenang."
(Ujang, saat tidak peduli)

Benar sekali kata pamanku bahwa perempuan itu penuh dengan misteri. Dia itu dalam seperti sumur, dan luas seperti ladang rumput mang Sapir. Perempuan itu menyimpan tanya yang jawabannya banyak dan mungkin semuanya jawaban itu benar atau mungkin juga semuanya salah. Kehadiran mereka bisa membuat hidup ini segar seperti pagi dan asem seperti keringat kuli panggul di siang terik. Paman selalu punya cara yang beda saat ingin menjelaskan sesuatu yang kadang-kadang aku tidak begitu megerti.

Bahwa segala ketidakmengertian aku tentang perempuan adalah ketidakfahamanku tentang Andinie. Aku simpulkan demikian karena begitu banyak pengalaman unik yang aku dapatkan dari hari-hari yang aku jalani bersamanya. Bagaimana mungkin hari ini dia bilang benci dan tak ingin bertemu tapi besoknya dia datang dan pinjam buku untuk menyalin tugas. Esok harinya lagi bilang aku sangat udik dan kampungan, tapi hari berikutnya ia datang dan bilang ke Ratnani bahwa ada anak kelas IPA yang lebih udik dari aku. Walau Ratnani tidak menjawab saat aku tanya benarkan aku udik dan kampungan, aku pastikan jawabannya tidak sesuai harapanku.

Hari berikutnya ia bilang tidak akan pernah lagi berbicara dengan aku, tapi kemudian dia datang dan nanya-nanya soal ulangan matematika saat ia tidak masuk kelas karena sakit dan tidak bisa ikut ulangan. Dan, puncaknya adalah kejadian terakhir saat dia bilang tidak suka dengan kebiasaanku dan meminta aku untuk bicara empat mata. Kejadian yang aku anggap akan menjadi  akhir segalanya. Hal ini akan menjadi penutup waktu aku dengannya. Malam-malamku akan kembali gelap, siang panas seperti biasa, pagi juga dingin seperti biasa, dan segala yang aku jalani tidak lagi indah berbunga seperti kemaren-kemaren. Nyatanya, tidak. Andinie tidak berubah. Disaat aku menuruti segala kemauannya, dan berjanji menuruti segala yang dikatakannya, dia tetap saja begitu. Baik dan cantik seperti biasa.

Aku tahu itu berat dan sulit untuk difahami. Aku kembali pada pesan paman, bahwa sesuatu yang misteri itu tidak perlu dipecahkan. Misteri itu akan pecah sendiri, yang karena itu aku tak usah repot karenanya. Termasuk keputusannya yang terakhir tentang aku. Ketika semua aku sepakati, aku sudah berjanji untuk menghentikan segala hal yang aku lakukan dan ia tidak sukai, malah dia menunjukkan sikap yang sangat baik. Dia menjadi sangat ramah, santun dan murah senyum. Seolah ia ingin menarik kembali ucapannya. Yang paling mengherankan adalah saat kemudian dia berkata bahwa sekarang ia suka sama aku. Membingungkan memang.

Sejak pertemuan hari itu, aku berjanji untuk merubah segalanya. Aku tidak lagi menjadikan Andinie bagian penting dalam kehidupanku. Aku akan fokus dengan kegiatan sekolah, Emak dan kambing. Tapi sepertinya akan menjadi sangat berat ketika ternyata keadaannya berbeda.

Selasa pagi, sebelum bel masuk kelas berbunyi aku sudah berada di dalam kelas. Aku selalu datang lebih pagi karena harus ikut mang Sapir pergi ke pasar. Kata Emak naik mobil bukan urusan mampu tidak mampu bayarnya, bukan pula masalah lebih cepat atau bukan, tapi juga sarana mempererat kekeluargaan.

Selain usaha jual beli kambing, Mang Sapir juga punya mobil kol buntung yang selalu disewakan untuk mengangkut apa saja. Barang bangunan, orang yang mau bekerja di kebun, atau bekerja di jalan, orang pindah rumah dan banyak lagi. Untuk semua itu, Mang Sapir akan mangkal di pasar yang jalurnya pasti melintas di halaman sekolahku. Pagi-pagi sebelum pergi, dia pasti ngopi di rumah sambil ngobrol ngalor ngidul dengan emak.

"Bawa si Ujang pergi bareng. Ajak ngobrol dia tentang macam-macam usaha di pasar. Tapi, jangan jadikan dia tukang yang hanya mungut uang recehan." Katanya suatu pagi sesaat setelah aku siap berangkat dengan seragam lengkap. Mang Sapir mengiyakan dengan penuh tanggung jawab. Sejak itulah cerita tentang uang setiap hari aku dapatkan darinya.

"Jangan kamu niatkan bekerja karena uang. Uang akan datang kepadamu dengan jumlah yang tetap. Tapi, bulatkan niatmu bekerja untuk menambah ilmu yang bisa mendatangkan uang." Awalnya aku tidak mengerti. Namun karena setiap jari Mang Sapir menceritakannya aku faham kenapa Mang Sapir tidak memiliki pekerjaan tetap. Kadang jualan kambing, kadang sayuran, kadang bantu-bantu di bengkel, atau narik mobil kol buntung seperti sekarang. Tapi untunglah, karenanya aku bisa datang sekolah tepat waktu.

Sesaat sebelum semua tugas dan PR aku periksa, Andinie datang dengan tergesa. Walau nampak sedikit panik namun wajahnya tetap cantik.

"Kamu sudah disini, Jang. Hebat. PR sudah?" Sapanya sambil melempar tar ke atas meja.

"Sudah."

"Aku lihat, boleh?"

"Silahkan. Bagian mana kamu yang belum?"

Andinie tidak menjawab. Ia langsung menyambar bukuku dan membuka halaman terakhirnya. Menyalinnya dengan penuh khusyuk. Aku bingung tapi hal ini telah membuat aku merasa sebagai pemenang. Aku senang entah karena apa. Saat melihatnya begitu tekun menyalin pekerjaanku. Sesekali ia melihat ke atas sambil menggoyang-goyangkan pulpen ditangannya. Jidatnya berkerut. Dia berpikir tajam. Lalu kembali menulis. Dan aku kembali membenarkan apa kata pamanku.

"Kenapa kamu bisa?" Tanyanya polos.

"Aku belajar, rajin. Setiap hari. Kamu?"

"Banyak yang belum mengerti. Mau ajarin aku?"

Sesaat aku ingin menahan jawaban dan sedikit bersandiwara agar kejadiannya sedikit dramatis. Tapi, semua hanya akan menjadikan aku seperti berdiri di tepi rumah saat hujan, tidak seutuhnya aman.

"Kita belajar bersama saja. Banyak bagian yang aku juga ragu."

Andinie melihat ke arahku. "Kadang aku heran. Kamu orang misterius, Jang."

Bukankah itu kalimat aku? Kalimat dari pamanku. Bahwa perempuan itu misterius dan penuh tanya dengan segala jawaban yang juga misterius.

"Misterius bagian mananya?" Aku mencoba menenangkan diri.

Menurutnya aku orang susah ditebak. Penyendiri dan aneh. Aku senyum. Ingin sekali menyimpulkan apakah ini artinya dia memperhatikan aku? Sesaat setelah itu teman-teman mulai berdatangan. Sekolahpun kembali ramai seperti pasar, seperti biasanya, dan akan kembali hening saat guru tiba.

Esok hari dan seterusnya, Andinie kembali seperti biasa, akrab dan dekat. Aku semakin dewasa dan sangat peka untuk berpikir berulang-ulang saat terbersit dalam hati untuk kembali mengingat masa lalu, dan menjadikan Andinie sebagai pacar. Aku tidak ingin terjebak lagi dengan kehidupan yang tidak normal atas nama cinta. Pacar? Hah....bodoh.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang