JANGAN KENCING DI AKAR POHON KELAPA, MENGHADAP PANTAI SAMBIL MELIHAT KE KIRI

47 2 3
                                    

Liburan tanpa rencana sama dengan berencana untuk tidak liburan
(Ujang, saat butuh liburan)

Jajang menjadi sangat pemarah hari itu. Awalnya, sederhana, kami tidak bisa tepat waktu. Acara perjalanan liburan yang seharusnya berangkat pukul tujuh, baru bisa dimulai pukul sembilan, itupun harus bolak-balik memastikan ransel bawaan sudah lengkap dipindahkan. Jam sepuluh tepatnya, hingga kami benar-bemar yakin bisa meninggalkan tempat.

Kami kenal Jajang dengan sangat baik. Bahkan, seperti apa cara anak itu marah, kami cukup hafal. Dia tidak menendang-nendang kaki meja seperti si Arip, atau memukul meja seperti si Ipan. Cara Jajang marah adalah dengan beres-beres di kelas. Hal yang sangat tidak wajar, apalagi Jajang seorang laki-laki. Kami kenal semua itu ketika suatu pagi kami mendapati kelas kami sangat bersih dan rapi. Lalu Ratna bercerita bahwa sehari sebelumnya Jajang marah-marah dan menunggu kami semua pulang. Ratna berbelok untuk melihat apa yang dilakukan Jajang. Ternyata ia beres-beres kelas. Ratna datang menghampiri dan bertanya. " Aku sedang marah!" Jawabnya kepada Ratna.

Jajang adalah orang yang sangat disiplin yang karena itulah kami memilih dia sebagai ketua dalam acara liburan akhir semester ini. Selain itu pengalaman berorganisasinya membuat kami yakin bahwa Jajang adalah orang yang tepat dan paling bisa diandalkan. Dialah satu-satunya warga kelas kami yang aktif di OSIS, Paskibra berikut tiga ekskul pilihan lainnya. Jajang menjadi juru bicara kelas dalam berbagai kegiatan sekolah. Dan dalam pemilihan KM di awal semester, akulah yang mengusulkan agar Jajang tidak mencalonkan dan dicalonkan. Alasannya sederhana, agar dia bisa fokus dan kelas kita tidak terlalu bergantung kepada satu orang. Usulanku tidak didegar. Tapi ketika aku bisikkan ke Andinie untuk menyampaikannya di kelas, semua jadi setuju. Akhirnya Jajang tidak jadi apa-apa di kelas. Aku mangut-mangut. Terkadang dalam berpolitik, kita harus mengedepankan tujuan daripada citra diri walau kemudian kau hanya akan tampil sebagai pecundang.

Saat Andinie mengusulkan hal yang aku usulkan, akhirnya Jajang mundur dengan sangat terhormat. Jajang turun untuk tidak terlibat dalam pencalonan ketua kelas. Namun demikian, semua sudah tidak bisa berpaling bahwa Jajang tetap nomor satu. "Kalau memang Jajang mampu dan dia mau, kenapa harus mencari orang lain yang belum tentu mampu dan mau." Usul Sasa. Sasa memang sudah lama mengincar Jajang untuk dijadikan Pacar Kokom, sepupunya. Entahlah, untuk urusan jodoh dan comblang, yang dilakukan perempuan, aku sangat tidak mengerti.

"Tas sudah masuk semua?" Teriak Jajang.

"Sudah!!"

"Bagus. Sekarang kita berangkat. Mang, belok dulu ke pertigaan Sodong di depan. Dua orang lagi menungu di sana." Lanjut Jajang dengan wajah nampak prustasi sambil menepuk bahu sopir angkot. Keberanian untuk melakukan hal itu hanya bisa dilakukan oleh Jajang.

"Jauh lagi ke sana mah atuh, A.."

"Ga apa-apa. Nanti ditambah lagi ongkosnya."

Aku menyimak obrolan mereka di belakang sopir. Dan jawaban Jajang tentang tambahan ongkos, aku sangat tidak yakin. Aku senyum karena hal itu biasanya tidak terpenuhi.

"Jang,...." aku menepuk bahu Jajang sambil mengangkat alis. Jajang mengerti dengan mengernyitkan alis sambil memonyongkan mulutnya. Aku mengartikan hal itu sebagai perintah untuk diam.

Teman-temanku yang lain terdiam kesal, yang lainnya terdiam menyesal. Aku dan tiga anak laki-laki lainnya adalah kelompok minoritas yang dalam situasi seperti ini lebih memilih untuk menjadi pesuruh yang tidak perlu untuk menunjukkan peran. Semua pasti karena jadwal yang sedikit ngaret. Makna sedikit untuk tiga jam adalah sebuah penyakit mental yang kronis. Tapi yang sangat kesal dengan kejadian itu sudah pasti Jajang. Karena itulah dia memilih duduk di depan untuk menyembunyikan kekesalannya.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang