KONSPIRASI PAGI

57 2 3
                                    

"Dinanti atau tidak, pagi pasti tiba dan dia akan berlalu dengan sangat cepat."

Aku pulang lebih cepat hari ini. Kabar bahwa para pencari ilham sekarang sudah mulai beraktifitas, membuatku sangat bersemangat jalani waktu. Kalian pasti ingin tahu apa arti para pencari ilham, siapa dan ada dimana mereka?

Beberapa hari yang lalu, Aku menulis pengumuman di kertas dalam jumlah yang banyak. Setelah menambahkan lem di belakangnya, aku keliling kampung untuk menempelkannya di tiang-tiang listrik, gardu pos, dinding bangunan, gang sempit dan pintu-pintu WC. Isinya tidak penting bagi mereka yang terburu-buru. Isinya akan bernilai bagi mereka yang bisa sedikit mengernyitkan kening untuk berpikir walau sesaat.

Semua aku kerjakan karena aku ingin orang-orang jangan terjebak dengan rutinitas yang menjemukan. Orang-orang terkadang tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam kejenuhan yang hebat saat mereka berkata bahwa kehidupan orang lain itu menjemukan. Orang-orang mencibir tentang penderitaan hidup orang lain yang sebenarnya dirinyalah yang berada di tepi jurang masalah serupa.

Kalian penasaran dengan apa yang aku tulis disitu? Tidak perlu. Sepertinya memang tidak penting. Aku hanya ingin membuat orang-orang sadar dengan kehidupan mereka dan keluar dari rutinitas, walau sejenak.

Sejak hari itu aku mulai sibuk mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang-orang yang sepaham dengan aku. Aku akan bertemu dengan orang-orang yang sudah jenuh dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak jelas. Mereka akan mengumpulkan energi hidup untuk mereka berbagi. Aku? Jelas akan menjadi bagian dari mereka yang tidak akan dan memang tidak perlu untuk memposisikan diri lebih tinggi dari mereka. Aku hanyalah orang yang berkesempatan untuk melakukan yang bisa aku lakukan; mengumpulkan mereka; menjadi jalqncbertemunya para pencari ilham dan tidak lebih dari itu. Masalah kemampuan dan keahlian, sepertinya banyak yamg lebih dari aku.

Akan aku namai apa kumpulan ini? Sebaiknya, nama itu yang akan membuat mereka selalu ingat dengan tujuan mereka berkumpul di sini.

Seminggu berlalu sudah sejak tulisan itu aku sebar. Dan pagi ini aku harus sudah siap dengan segalanya. Aku pernah melihat ibu-ibu berkumpul tepat di depan tulisan yang ku tempel di dinding pagar koramil. Mereka berkerumun dan di tengahnya tukang sayar yang sepertinya sangat bahagia walau berpakaian lusuh dan nampak belum mandi. Beberapa orang sempat melirik ke kertas itu bahkan ada yang bersender di atasnya.

Sore harinya, sekumpulan remaja berkumpul tepat di samping pos ronda. Aku yakin mereka pasti melihat kertas yang aku tempel di samping jadwal ronda. Walau sudah sedikit kabur, tulisannya pasti masih bisa mereka baca.

Dan kemaren, aku hanya mencoba bertanya kepada orang-orang yang kegiatannya pasti melintas tempat-tempat dimana aku memasang tulisan itu. Si Badrun, anak kecil yang hobinya main bola. Dia dan teman-temannya hanya akan melewati gang sempit yang sudah aku tempeli tulisan di dindingnya saat mereka menuju lapang. Mang Sapir yang pasti duduk-duduk di pos ronda, setelah lelah berkeliling mencari atau menawarkan kambing. Mang Odih, tukang sayur yang namanya baru aku dapatkan hari itu, pasti memukul-mukul tiang listrik sebagai panggilan cintanya kepada ibu-ibu yang dia anggap sebagai para penggemarnya. Aku tidak akan tanya Mang Sadan karena ia selalu menampakkan wajah bingung dan tidak suka baca. Kalau dia baca pun hanya akan menambah kerut di wajahnya. Emak? Jangan tanya beliau untuk urusan ini. Kambing ? Nah, tidak ada urusanku yang terlewatkan dari telinganya. Kambing emak selalu jujur dan kalau saja kambing emak bisa bicara, semua tentang aku akan ia katakan kepada siapapun yang bertanya akan hal itu.

Inilah hari yang ditunggu itu. Orang-orang yang haus dengan perubahan akan berkumpul disini. Mereka sudah jenuh dengan segala urusan yang mengikat. Berbagi rutinitas yang telah melenakan langkah dan waktu mereka.

Aku yakin akan hadir satu gerakan besar yang sarat makna di sini. Hal ini juga akan memberikan perubahan besar ke tempat lain. Seperti inilah yang dilakukan tokoh-tokoh besar dunia sebelum perubahan besar itupun akhirnya terjadi. Mereka tidak melakukan dengan iseng dan tiba-tiba. Segalanya penuh perencanaan.

Pukul empat sore, hari Rabu ketiga Bulan di Juli, di Warung Mang Jalil. Aku duduk menunggu. Orang-orang hilir mudik. Anak kecil berlari berputar, sesekali bersembunyi di ketiak ibunya. Kakaknya tertawa bahagia.

Pergumulan terjadi di meja lainnya.

"Berilah dia waktu untuk berpikir walau sedikit. Hilangkan ego kamu sebagai kakak."

"Biar tidak jadi kebiasaan. Kali ini aku harus berani galak."

"Dia baru tiga tahun."

"Kawanku enambelas tahun tetap saja lelet. Aku yakin semua karena kebiasaan, kebiasaan yang terus dibiarkan."

"Terserah."

"Ya sudah."

Aku menangkap obrolan remaja itu sekenanya. Lalu mereka sibuk dengan piring masing-masing. Anak kecil tiga tahun yang mereka perdebatkan tetap saja tidak peduli. Dia terus berlari berputar mengelilingi meja makan mereka. Sesekali terdiam dan melihat jemari, meringis lalu kembali berlari. Rasa-rasanya aku ingin bergabung dengan mereka. Dengan anak kecil yang tiga Restoran ini selalu penuh karenanya aku datang lebih awal untuk memastikan ada tempat untuk kami bisa duduk nyaman. 

aku akan mengendap dan berpindah ke setiap tempat duduk paling nyaman yang sudah ditinggalkan pelanggan. Aku tidak memesan apa-apa. Mungkin belum. Aku waspada saat mata pelayan warung Mang Jalil mulai curiga.

Belum satu jam keluarga itu beranjak pergi yang kemudian aku simpulkan bahwa mereka bukan diantara orang yang datang ke warung karena tulisanku.

Sesaat datang rombongan lain. Mereka berpencar mengelilingi meja. Obrolan tidak jelas memenuhi ruangan. Ditimpal lagi kelimpok lain dan lainnya lagi. Lalu perlahan pengunjung kembali berkurang. Aku mulai gelisah. Jangan jangan aku salah tempat. Atau, mungkin juga mereka tidak mengenaliku, begitu pula dengan orang lainnya. Ah....benar saja! Aku berinisiatif untuk menanyakannya secara langsung kepada pengunjung agar aku bisa mendapat kepastian.

"Mas, pencari ilham?" Aku tanya kepada seorang pemuda terdekat setengah berbisik. Ia menjawab dengan wajah heran bahwa dirinya tidak kenal siapa Ilham.

Aku mengulang pertanyaan serupa ke yang lain. Dia menjawab bahwa dia lapar dan mencari makanan yang pedas. Ada juga yang menjawab sedang mencari teman ibunya. Aku mulai gusar. Waktu sudah sore tapi aku belum menyerah. Sampai akhirnya sekelompok orang dengan penampilan cocok dengan karakter orang yang sepertinya sudah membaca tulisanku. Mereka berwajah intelek. Sebagian berpakaian semaunya, kumal dan nampak bau. Itulah seniman original. Sebagian yang lain nampak sangat rapi. Kacamata dan rambut yang disisir rapi, persis bintang film sinetron drama India. Gagal! Mereka pendatang luar kota yang juga tidak kenal siapa Ilham.

Hingga pukul 11 malam dan warung Mang Jalil akan tutup, aku dengan sangat setia menunggu. Hingga kebekuan itu pecah ketika seseorang dengan wajah ramah menyapaku. Wajahnya sejuk dan penuh senyum. Aku yakin ia anqk intelek.

"Kamu Ujang, kan?"

Aku yakin inilah orangnya, orang yang datang karena tulisanku dan sesaat lagi puluhan lainnya akan menyusul. Ia tersrnyum lalu membuka kacamata berikut maskernya. Aku belum menjawab sambil terus menatap gerak-geriknya yang nyantai banget.

Setelah semuanya terbuka dia berkata  bahwa emak sudah mencariku kemana-mana. Aku dimintanya untuk segera pulang, Emak menunggu di rumah.

Jleb.dinn_dayana

SarahSimorangkir
adindaNRK
ayucakra

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang