DEMAM TAK BERKESUDAHAN

192 8 4
                                    

Keluhan kamu saat sakit adalah keluhan orang-orang saat kamu sembuh.
Jadi, buatlah orang bahagia dengan sakit dan sehatmu.
(Ujang, di ujung suatu pagi yang sehat)

Sejak pertemuan terakhir aku dengan Andinie dan keluarganya di rumah Emak di akhir bulan Juli waktu itu, aku mendadak menjadi pusat perhatian. Tepatnya, sesaat setelah mereka berpamitan. Waktu itu mataku menjadi gelap, pikiranku kosong dan dunia ini menjadi begitu pekat, tertutup seiring waktu Emak menutup pintu begitu Andinie dan keluarganya lepas dari pqndangan.

Konon, menurut cerita Emak, keluarga, sanak saudara, tetangga dan, bahkan tetangganya tetangga berikut keluarga mereka ikut menunjukkan peran dalam drama cintaku yang berakhir sangat tragis itu. Mereka menganggap itu semua sebagai bagian dari komitmen tenggang rasa, jiwa kemanusiaan dan rasa kepedulian terhadap sesama. Bahwa cinta itu benda personal itu benar, tapi bahwa makna cinta itu adalah universal, semua menjadi begitu peduli. Maka dari itu, semua merasa memiliki kesamaan dan kebersamaan atas nama cinta untuk aku, anak malang yang terkapar di depan pintu tanpa alasan yang bisa dicerna oleh anak dibawah umur. Akulah korban keganasan cinta yang tak terdefinisikan itu.

Aku tahu semuanya dari cerita emak sebulan kemudian. Sempat aku tanyakan kenapa tidak lebih awal diberitahukan kepadaku, jawabnya nunggu aku sembuh. Katanya aku demam tinggi dan seakan tak berkesudahan. Semua menjadi sibuk. Banyak yang bilang aku tak mungkin bisa diselamatkan. Yang lainnya bilang akan berusaha semampunya. Sisanya akan menghabiskan waktu diwarung kopi dan menonton aksi-aksi gilaku.

Kejadian sebelumnya, orang seusiaku bisa mengalami cacat permanen saat mengalami penyakit yang aku alami. Samad adalah contohnya. Warga kampung sebelah yang sejak kecil hilang ingatan dan tak bisa lagi dikembalikan. Sampqi sekarang ia masih jadi bahan olok-olok warga. Usianya kini sudah 50an. Walau tubuhnya kekar dan nampak sehat, ia tetap menjadi topik pembicaraan untuk kekonyolan. Sementara Wak Kikim, mengalami kebutaan sejak kecil yang konon katanya akibat demam tak berkesudahan, dengan gejala sama seperti yang aku alami.

"Emak," aku membuka percakapan pagi di depan hawu. "Kalau Ujang benci Neng Adini, wajar ga, Mak?"

"Namanya juga wajar, ya bolehlah. Yang tidak boleh itu kalau diluar batas kewajaran."

"Menurut Emak, Neng Andin salah ga, Mak? Atau Ujang yang salah?"

"Kesalahan itu membawa keburukan. Jadi kalau kamu ingin tahu benar atau salah, lihat saja apa yang terjadi setelahnya. Kalau muncul keburukan berarti ada kesalahan. Tapi, kalau ternyata berbuah kebaikan, maka kesalahan itu tidak ada."

"Emak, Ujang tidak mengerti. Tapi, ujang suka cara emak bicara,"

"Sudahlah. Kamu harus kembali bekerja. Neng Adini itu orang terpandang dari keluarga terhormat. Baik. Pasti akan berbagi kebaikan."

"Emak, apa yang terjadi selama sebulan ini?"

Emak menatapku tajam. Menarik nafas panjang lalu diam. Melihat kembali ke pusaran api di hawu. Ia menatapku kembali.

"Kamu anak emak yang hebat. Emak yakin esok lusa kamu akan jadi orang. Kalau sudah jadi orang, perempuan manapun akan datang padamu, gak perlu kamu repot mengejar. Mereka akan datang. Kamu tinggal pilih,"

"Andini?"

"Ya, orang seperti Neng Andien akan hilir mudik di halaman rumah kamu. Sudah, mandi sana!"

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang