KORBAN MUTILASI MANG TETENG

125 4 6
                                    

"Hal terjahat yang dilakukan seseorang setelah memfitnah adalah membunuh, dan kejahatan besar setelahnya, adalah mutilasi. Maafkan aku, nyamuk."
(Ujang, tengah malam)

Aku bergegas pulang begitu acara dangdutan selesai. Aku tidak ingin pulang sendiri apalagi sekarang tengah malam dan ini adalah hari Kamis. Dan aku sadar betul kalau aku tidak bisa memilih jalan lain untuk pulang kecuali harus menempuh satu-satunya arah kesana yang harus melintasi pemakaman cina yang terkenal angker itu. Banyak cerita mengerikan yang terjadi di sana. Mulai dari kasus bunuh diri, pembunuhan, membuang bayi dan yang terakhir adalah kasus mutilasi yang mengegerkan.

Tepat disaat berita di tivi-tivi mengungkap berbagai kasus sadis itulah, kampung kami ikut ketularan. Aku merinding tepat disaat melintas di tempat angker itu. Dua puluh meter dari tempat itu, melintas sebuah sungai dengan bendungan kecil dan sebuah semak yang terabaikan. Tempat itu tak kalah angkernya karena beberapa kali menjadi tempat pembuangan benda-benda aneh. Sesekali ada sesajen juga. Entah siapa yang melakukannya.

Istilah-istilah sadisme kemudian menjadi akrab dalam komunikasi kami. Aku menangkap  beberapa percakapan yang dilakukan warga.

"Mang, itu ayamnya dimutilasi dulu, baru dikilo." Kata Bi Iyam kepada tukang sayur.

"Ayam ini khok, warnanya beda? Seperti korban tabrak lari." Bi Isah, yang waktu itu berdiri di samping bi Iyam ikut berkomentar.

"Kalau dilakukan dengan cara pembunuhan masal, ayam-ayam ini akan begini, biru lebam." Tukang sayur menjawab.

Mang Sapir sudah seminggu melakukan genosida terhadap kutu busuk di kamar kontrakannya.

Malam semakin pekat. Beberapa remaja melintas di depanku sambil tertawa lalu berlari menjauh masuk di kegelapan. Sesaat kemudian beberapa remaja putri lainnya. Mereka nampak berlari lebih cepat. Lalu beberapa orang lagi. Semakin ke belakang mereka berlari semakin cepat dengan wajah yang nampak semakin panik. Maunya aku tak peduli. Tapi semakin lama pemandangan semakin aneh. Namun, aku tidak akan berlari kecuali ada alasan yang jelas.

Lewat di kawasan paling angker, suasana aku dan seluruh pejalan kaki semakin tidak jelas. Selain karena aku yang berada di puncak rasa takut, orang-orang yang juga berperasaan sama, mengalami kegalauan serupa. Dan rupanya inilah penyebab semuanya.

Beberapa menit selepas orang terakhir menjauh, sekelebat mataku menangkap bayangan berwarna putih dan melesat begitu cepat. Aku kaget bukan main. Rasa takut yang hampir reda selepas lewat kawasan angker, muncul kembali. Tapi, aku bingung harus berlari ke arah mana: ke arah kampungku, mengejar orang-orang dan itu artinya berada di barisan terakhir mereka. Lebih lucu lagi, aku akan berada di belakang bayangan putih itu. Atau, aku harus berlari melawan arah, kembali ke lokasi dangdutan dan artinya kembali melewati makam angker itu.

Keringat dingin mulai keluar dan menjalar di tubuh. Aku menarik telepon genggam di celanaku dan memasangkan headset.  Dengan tangan gemetar aku pilih satu lagu. Aku putar dan lanjutkan berjalan lebih cepat, berusaha mengabaikan segala yang terjadi. Beberapa menit kemudian, aku sudah merasa lega. Tanpa disadari aku sudah berjalan beriringan dengan orang terakhir. Namun, bayangan putih tadi mana? Dan aku menoleh ke belakang. Dia ada di sana. Sekarang berjalan pelan sama seperti aku.

Perkampungan tinggal beberapa langkah lagi dan terang lampu jalan sudah nampak di depan. Aku penasaran dan menoleh kembali ke belakang untuk memastikan sosok bayangan putih itu masih bersamaku. Dan dia ternyata sudah hilang. Sudahlah, semoga baik-baik saja.

Esoknya, aku bangun dengan kepala yang masih sesak dengan kejadian janggal semalam. Kalian penasaran dengan bayangan putih yang menghilang tiba-tiba itu? Aku juga, kita doakan semoga tidak terjadi apa-apa.

DEMI KAMUH, YAH DEMI KAMUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang