Terkabul

199 26 5
                                    

Jam-jam selanjutnya tidak mengesankan, guru mejelaskan dipapan sedangkan pikiranku melayang kemana-mana. Aku masih tidak terima anak itu lebih cepat dariku, pikiranku kacau sekali.

Waktu pulang sekolah berlalu, Kak Yoga dengan mobilnya menungguku didepan pagar. Mengetahui keberadaannya, sebisa mungkin kusunggingkan senyum yang manis, mengubah diriku menjadi ceria, berusaha tidak memperlihatkan betapa kesalnya aku hari ini.

"Papa pulang jam berapa kak????" Aku menatap kak Yoga berseri-seri, mencoba melupakan soal salip menyalip.

Kak Yoga menatapku gembira, "Papa udah dirumah dari tadi siang loh.."

Mataku membulat total, kini pikiranku hanya terfokus pada Papa. " CEPET TANCAP GAS KAK!" Aku berseru menyuruh Kakakku untuk segera melaju. Hatiku menggebu-gebu, menanti-
kan saat-saat ini, saat dimana seluruh anggota keluarga bisa berkumpul.

Mobil kami melaju cepat, seolah ikut bersemangat ingin bertemu Papa. Selama diperjalanan, aku tak henti-hentinya mengoceh soal Papa. Bagaimana keadaannya? Apa uban sudah tumbuh lebih banyak dikepalanya? Apa dia tambah gemuk? Atau kurus? Aku benar-benar penasaran.

Papa, im coming!

***

"PAPAAAAA!!!!!!!" Aku mengeluarkan teriakan maut untuk menandakan keberadaanku dirumah.

Papa pasti sedang dikebun.

Dengan cepat aku berlari menuju halaman belakang alias kebun miniku. Mataku membulat sempurna saat melihat sosok laki-laki tinggi paruh baya sedang memotong rumput liar.

Mataku menjadi teduh, melihat sosok Papa yang sederhana mengenakan kaos cokelat, celana pendek, dan sendal jepit membuatku nyaman.

Orang-orang pasti tidak pernah mengira seorang pemilik perusahaan besar masih menyempatkan diri untuk memotong rumput dikebunnya sendiri, tapi Papa menikmati itu, melakukan dengan senang hati.

"Audien sayang, kita harus menjaga dengan baik apa yang menjadi milik kita.. Semua tanaman ini milik kita, tumbuh indah dirumah kesayangan kita, sudah kewajiban kita untuk merawat mereka.."

Kata-kata Papa terekam jelas dimemoriku, bagaimana sosok hangatnya mengingatkanku akan hal-hal kecil yang kelak harus kulakukan dengan sepenuh hati.

Perlahan kakiku melangkah mendekati tempatnya berdiri kini. Punggung jakung Papa sudah menghadapku, tangan ini kulilitkan di pinggangnya, pipiku kutempelkan pada punggungnya. Sejak kecil ini yang selalu kulakukan, suatu kebahagiaan tersendiri buatku.

"Audien, kamu masih sama ya.."

Bibirku tak bisa berhenti tersenyum, mendengar Papa berbicara lembut seperti itu selalu menenangkanku.

Papa berbalik badan menghadapku, mendekapku hangat, "Putri kecil Papa udah gede ya.."

Tanpa sadar mataku menggenang, ingin selalu mendengar Papa berkata seperti ini ditelingaku, "Papa lama kan di Indonesia?" Tanyaku.

"Hmm cuma dua hari Din.." Papa melepaskan dekapannya dan menatapku lirih, "Maaf Papa gak pernah ada waktu dirumah.. untuk nemenin Audien buat PR, dengerin curhatannya Audien.. Maafin Papa ya.."

Aku berhasil tersenyum walaupun sebenarnya hatiku menangis, "Gak apa-apa Papahhh.. Lagian Audien udah besar, 16 tahun.. Papa gak usah mengkhawatirkan Audien.."

Mengenal SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang